Kamis, 18 Juni 2015

  • Rahasia dan Hikmah Puasa
  • ramadan_kareem
  • Puasa memiliki banyak rahasia dan hikmah yang luar biasa, yang jika kita renungkan dan pikirkan, maka pasti kita akan takjub karenanya.
  • Hikmah pertama, Puasa Berkaitan erat ketulusan Iman kepada Allah Ta’ala
  • Lantaran itu, sebagian ulama menyebut puasa sebagai ibadah rahasia. Karena seseorang bisa saja tidak berpuasa jika ia mau. Entah dengan mengkonsumsi makanan atau minuman, atau tidak berniat puasa sama sekali, meskipun ia menahan diri dari makan dan minum sepanjang hari.
  • Dengan kata lain, puasa adalah ibadah hati. Dia adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Sebab, ketika seorang hamba tidak melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasa, padahal dia sanggup melakukan hal itu walau secara sembunyi-sembunyi, maka itu adalah bukti bahwa dia yakin terhadap adanya pengawasan Allah terhadap perbuatannya. Dan hal ini merupakan tarbiyah untuk melatih kekuatan iman kepada Allah.
  • Sebenarnya, bila dicermati lebih jauh, rahasia keimanan ini dapat kita temukan pada pada seluruh ritual ibadah yang dilakukan seorang hamba kepada Sang Khaliq.
  • Perhatikan, misalnya, wudhu dan mandi janabah, saat seseorang bersuci dari hadats dengan wudhu’ dan mandi tersebut. Dalam wudhu dan mandi terdapat bukti keimanan seorang hamba bahwa Allah Maha Mengawasi dirinya. Itulah kenapa dia menunaikan amanah bersuci yang menjadi rahasia antara dirinya dengaan Rabbnya. Sekiranya dia shalat tanpa bersuci, maka takkan ada manusia yang tahu hal itu.
  • Perhatikan pula ibadah shalat. Seorang yang shalat membaca surah Al Fatihah dalam shalatnya. Dalam ruku’, dia membaca Subhaana Rabbiyal ‘adziym. Dalam sujud, dia membaca Subhaana Rabbiyal a’la. Dalam duduk di antara dua sujud, dia membaca Rabbighfirliy. Dalam tasyahhud, dia membaca tahiyyat, dan begitu seterusnya.
  • Dia membaca semua itu dengan suara yang tidak didengarkan oleh orang di samping dan di dekatnya. Bahkan oleh orang yang mungkin merapat dan bersentuhan kulit dengannya sekalipun. Andai saja dia tidak beriman kepada Allah, kepada Kemahatahuan Allah terhadap ucapan lisannya, lintasan pikirannya dan kata hatinya, mungkinkah dia akan berdoa dan berdzikir seperti itu? Padahal, tidak ada yang mengawasinya kecuali nya subhanahu wa ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
  • وَإِن تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى [٢٠:٧]
  • Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS Thaha:7)
  • Hikmah Kedua: Puasa Mendidik manusia untuk selalu Mengingat Kampung Akhirat
  • Sebab saat berpuasa, seorang hamba meninggalkan beberapa kebiasaan duniawi dengan harapan mendapatkan ganjaran pahala di sisi Allah. Parameternya dalam menghitung untung – rugi perbuatannya adalah standar akhirat. Dalam puasa –misalnya dia meninggalkan makan, minum dan berbagai kenikmatan pada siang hari bulan Ramadhan, demi balasan yang baik pada hari kehidupan akhirat kelak.
  • Dalam hal ini terdapat penanaman nilai-nilaI keimanan kepada kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tambatan hati bagi orang yang berpuasa. Dia juga berlatih untuk menghilangkan ketergantungan kepada kenikmatan duniawi yang fana. Sebab ketergantungan kepada kenikmatan duniawi itulah yang melahirkan kecenderungan yang berlebihan kepada kehidupan dunia.
  • Padahal, penting diingat bahwa dalam ibadah puasa, terkandung pula kenikmatan rohani dan kebaikan hidup, seperti kesehatan fisik, ketenangan hati, dan kelapangan dada.
  • Adapun orang yang hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang materi, maka puasa hanya akan dilihat dari sisi kehidupan dunia yang singkat ini. Mereka tidak melihat puasa melainkan sebatas meninggalkan kenikmatan makan, minum dan hubungan suami – istri. Pandangan mereka terbatas pada upaya pemenuhan terhadap kebutuhan fisik semata. Mereka tidak melihat sisi akhirat yang pada hakekatnya merupakan balasan yang sebenarnya. Hal inilah yang menggerus atau mungkin memperlemah rasa rindu kepada kehidupan akhirat.
  • Hikmah Ketiga: Dalam ibadah Puasa terdapat pembuktian akan totalitas penyerahan Diri dan Penyembahan Kepada Allah Jalla wa ‘alaa
  • Puasa melatih seorang muslim untuk melaksanakan makna ubudiyah yang sebenarnya. Ketika malam tiba, dia makan. Hal itu sebagai bentuk pengamalan terhadap perintah Allah:
  • وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ 
  • Makan dan minumlah hingga tampak bagi kalian benang putih dari benang hitam,yaitu fajar(QS Al Baqarah: 187).
  • Oleh sebab itu, sangat dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, baik pada saat berbuka maupun pada saat sahur. Dan tidak dianjurkan menyambung puasa dengan puasa hari berikutnya tanpa berbuka. Dalam konteks ini, makan pun termasuk ibadah.
  • Saat terbit fajar, seorang muslim menahan diri dari makan dan minum serta pembatal-pembatal puasa lainnya. Hal itu dalam rangka mengikuti perintah Allah:
  • ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
  • Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”(QS Al baqarah:187).
  • Nah, demikianlah seorang Muslim terdidik untuk melaksanakan makna ubudiyah yang sempurna kepada Allah. Jika Rabbnya menyuruhnya untuk makan pada waktu tertentu, maka ia makan. Jika Dia menyuruhnya melakukan kebalikannya pada saat yang lain, maka ia taat. Sehingga inti persoalannya bukan pada sekadar perasaan, keinginan, dan kecenderungan. Tetapi totalitas ketaatan kepada Allah dalam menjalankan perintah-perintah-Nya.
  • Dan sesungguhnya ‘ubudiyah kepada Allah merupakan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan yang sempurna hanya terdapat dalam ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah ‘azza wajalla. Lantaran itulah, al-Qadhi ‘Iyadh, seorang ulama besar yang zuhud, pernah mengungkap syair:
  • Sesuatu yang memberiku kemuliaan dan ketinggian derajat
  • Yang membawaku menapak bulan
  • Yaitu ketika aku masuk dalam golongan yang Engkau sebut sebagai “hamba-Ku.”
  • Dan ketika Engkau jadikan Muhammad sebagai nabi bagiku
  • Sebaliknya, adalah ungkapan syair hikmah yang lain:
  • Aku perturutkan hawa nafsuku, maka aku dijadikannya budak
  • Andai aku mampu menundukkannya, niscaya aku adalah manusia yang merdeka
  • Hikmah ini dapat ditemukan pula dalam ibadah shalat, haji, dan ibadah yang selainnya. Karena itulah seorang hamba di dalam shalatnya berdiri, kemudian ruku, kemudian sujud, kemudian duduk, dan seterusnya. Sebab semua itu adalah perintah dan keinginan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Dengan cara itulah manusia yang melakukan shalat merealisasikan ubudiyahnya kepada Allah.
  • Ambil contoh lain ibadah haji. Dalam ibadah haji, memang tidak dilarang untuk makan dan minum. Tetapi ada larangan-larangan lain yang harus dihindari oleh orang yang sedang ihram, seperti hubungan suami-istri dan perbuatan yang mengantar kepadanya, menutup kepala, memakai wewangian, memotong kuku dan rambut, dan lain-lain. Maka wajib bagi orang yang sedang ihram untuk mengindahkannya. Karena yang demikian itulah perbuatan yang dikehendaki oleh Allah dari orang yang ihram. Bila seorang yang sedang dalam keadaan ihram meninggalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah, seperti makan dan minum, dengan keyakinan bahwa hal itu sebagai bagian dari ihram, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebagaimana jika dia melanggar larangan ihram, maka dia telah berbuat salah.
  • Jika telah selesai ihram, dia diharuskan untuk mencukur atau memendekkan rambut, mandi dan berhias, serta memakai parfum dan memotong kuku. Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoranyang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka . . . .” (QS. Al-Hajj: 29)
  • Begitulah seorang muslim terdidik di atas nilai penyerahan diri dan ketundukan dalam penghambaan kepada Allah. Taat pada perintah dan tunduk pada larangan. Terlepas dari apakah dia mengetahui hikmah di balik perintah atau larangan itu atau tidak.
  • Hikmah Keempat: ibadah Puasa Adalah madrasah bagi masyarakat
  • Ketika seorang yang berpuasa menyaksikan manusia di sekitarnya berpuasa, maka ia akan merasakan puasa sebagai sesuatu yang ringan dilaksanakan. Ia juga akan merasa sebagai bagian tak terpisah dari masyarakatnya, yang semuanya diikat oleh hubungan kesatuan ibadah yang merupakan poros bagi semua anggota masyarakat.
  • Bila kita bandingkan antara puasa sunnah dengan puasa ramadhan, kita temukan bahwa ternyata puasa sunnah terasa lebih berat dilaksanakan. Berbeda halnya dengan puasa ramadhan yang hukumnya wajib. Dia terasa lebih ringan dan mudah. Tidak ada beban dalam melaksanakannya. Alasannya adalah seperti telah disebutkan sebelumnya. Dalam puasa ramadhan, hampir semua orang di sekitar kita juga berpuasa. Di pasar, para penjual dan pembeli berpuasa. Di dalam rumah, anggota keluarga berpuasa. Di sekolah dan tempat kerja, orang-orang juga sedang puasa. Dan demikianlah seterusnya. Manusia muslim akan merasakan kebersamaan dalam berpuasa, sehingga ia terbantu menjalani puasa. Dengan itu dia bisa menikmati pekerjaan yang sebanarnya berat baginya.
  • Oleh sebab itu, kita dapati orang-orang yang memasuki bulan ramadhan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas non-muslim untuk kepentingan yang mendesak tertentu, entah karena sakit atau karena sebab yang lain, menghadapi kesulitan yang sangat jelas saat berpuasa. Pasalnya, masyarakat di sekitarnya tidak berpuasa. Mereka makan dan minum. Dan dia sendiri tidak bisa tidak, harus berinteraksi dengan mereka.
  • Jika demikian, maka perasaan orang yang puasa bahwa orang-orang di sekitarnya turut serta bersamanya dalam beribadah akan menjadikan puasa terasa ringan baginya. Hal ini adalah sesuatu yang tampak jelas, bahkan pada masyarakat yang mungkin syiar Islam di dalamnya hanya tersisa sedikit. Pengaruh ramadhan bisa dilihat pada semua manusia.
  • Pada diri orang-orang yang gemar melakukan maksiat dan di masyarakat yang didominasi oleh kerusakan pun, pengaruh ramadhan dapat dirasakan. Itu semua merupakan bagian dari pembinaan Islam kepada masyarakat secara keseluruhan.
  • Lantaran itu, perhatian Islam terhadap perbaikan masyarakat sangat besar. Kerusakan yang dilakukan oknum-oknum tertentu dalam masyarakat tentu sesuatu yang tak mungkin dihilangkan sama sekali. Sejumlah kasus pelanggaran juga pernah terjadi pada masyarakat zaman Sahabat yang mulia. Di anatara mereka ada yang terjerumus melakukan pencurian, meminum khamr, dan berzina. Semua ini pasti terjadi. Tetapi yang tidak dapat dibenarkan adalah, kemungkaran dilakukan secara luas dan terang-terangandalam masyarakat Muslim,. Sehingga masyarakat umum terkontaminasi akhlaknya dan terpengaruh. Akibatnya, sulit bagi orang yang ingin berjalan di atas kebaikan untuk mendapatkan hidayah. Karena masyarakat menekan dan menghalanginya dari mencapai tujuannya.
  • Dari titik tolak ini pula musuh-musuh Islam berusaha keras untuk merusak masyarakat islam. Lewat media, mereka menggerogoti tata nilai dalam masyarakat, sehingga terjadi kerusakan pada pemikiran, aqidah, akhlaq dan tradisi masyarakat.
  • Kesimpulannya, pembinaan masyarakat merupakan cita-cita Islam. Puasa adalah salah satu sarana pembinaan itu. Manfaat puasa dalam pembinaan masyarakat sangat jelas. Di antara fenomenanya, selain yang telah disebutkan di atas, adalah bahwa sampai anak kecil sekalipun, dalam masyarakat muslim terbiasa melakukan puasa. Orang-orang yang gemar melakukan maksiat menyembunyikan kebiasaan maksiatnya. Sedangkan orang-orang non-muslim tidak makan dan minum secara terbuka di depan umum. (sym)
  • Sumber: Diterjemahkan oleh Syamsuddin Al-Munawiy dari Risalah Durus Ramadhan; Waqafat Lish Shaim, Karya Syekh. DR. Salman bin Fahd.

Bolehkah Wanita Memakai Pakaian Berwarna-Warni?








dakwatuna.com – Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya. Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya. Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.
Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:
“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pasa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)
Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.

Riwayat pertama: Warna merah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)
Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ
Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)
Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ
Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)
Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)
Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)
Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.

Riwayat kedua: Warna hijau

Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi ﷺ.

Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah

Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , No. 24748)

Riwayat keempat: motif warna warni

عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ
Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823)
Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam
Berkata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan Siria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah,Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta) Wallahu a’lam. (dakwatuna/usb)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/06/16/70131/bolehkah-wanita-memakai-pakaian-berwarna-warni/#ixzz3dPyhRIDf 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Kisah Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari






Berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.

Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.

Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’

Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun  dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.

Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’

Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’

Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”

Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”

Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.

Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”

Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”

Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.

Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam

Surga itu mahal harganya. Tapi banyak orang yang berkhayal bisa membayarnya hanya




Berapa harga Syurga ?
Dikisahkan bahwa Ibrahim bin Adham pernah melakukan suatu perjalanan, tiba-tiba di tengah perjalanan ia mencari sebuah tempat untuk menunaikan hajatnya (toilet). Tampak seorang pemuda berjaga di tempat tersebut, lalu mengatakan: “jika kau mau masuk ke tempat ini, haruslah kau membayarnya” ungkapnya pada lelaki paruh baya itu. Mendengar ucapan tersebut, Ibrahim bin Adham pun terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda tersebut heran, seraya berkata: "jika kau tak punya uang, carilah tempat lain”. Ibrahim bin Adham pun menjawab: “aku menangis, bukan karena tidak memiliki uang. Aku menangis karena merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus dibayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indah…”------Ibrahim bin Adham adalah tokoh yang terkenal sholih, hidup sekitar tahun 100-165 hijriyah------------------------Surga itu mahal harganya. Kenikmatannya tak tertandingi. Sedikit saja kenikmatannya melebihi seluruh kenikmatan dunia dan seisinya. Siapa yang mau masuk surga maka –pada dasarnya- harus membelinya dengan sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya."Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga." (HR. Al-Tirmidzi)“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka”. (QS At Taubáh: 111)."Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Shaff: 10-12)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :“Jaminlah bagiku enam hal, niscaya aku jamin surga bagi kalian; jujurlah dalam berbicara, tepatilah apabila berjanji, tunaikanlah amanah yang diberikan kepadamu, jagalah kemaluanmu, tahanlah pandanganmu, dan tahanlah tanganmu (dari berbuat dosa) (HR Ahmad, Al Baihaqi, Al Hakim, Ibnu Hibban )Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya"(HR Bukhari)Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua rahangnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan."Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406].Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.Ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR Bukhari)

5 Amalan Pelebur Dosa di Bulan Ramadhan






Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sampai-sampai dikatakan oleh para ulama, kalau tidak di bulan Ramadhan mendapatkan ampunan lantas di bulan mana lagi?
Berikut disebutkan beberapa amalan yang bisa melebur dosa di bulan Ramadhan.
1- Shalat lima waktu, bertemu dengan hari Jumat dan bertemu dengan Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
2- Amalan puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144)
3- Qiyam Ramadhan (shalat Tarawih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)
4- Menghidupkan shalat malam pada Lailatul Qadar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan bahwa pengampunan dosa pada lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah usai. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 365-366)
5- Zakat fitrah

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Zakat fitrah di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitrah akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fitrah adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, pen.) dalam shalat, yaitu untuk menutupi kekurangan yang ada. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 377)
Kalau banyak ampunan seperti itu di bulan Ramadhan, seharusnya setiap yang keluar dari bulan Ramadhan keadaannya sebagaimana disebutkan oleh Muwarriq Al-‘Ijliy,
يَرْجِعُ هَذَا اليَوْمَ قَوْمٌ كَمَا وَلدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ
“Hari ini kembali suatu kaum sebagaimana mereka baru dilahirkan oleh ibu-ibu mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 366). Artinya, mereka kembali bersih dari dosa.
Sungguh sangat disayangkan jika keluar dari bulan Ramadhan tidak membawa ampunan apa-apa.
Qatadah rahimahullah mengatakan,
مَنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي رَمَضَانَ فَلَنْ يُغْفَرَ لَهُ فِيْمَا سِوَاهُ
“Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain (di luar Ramadhan), ia pun akan sulit diampuni.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan,
فَلَمَّا كَثُرَتْ أَسْبَابُ المغْفِرَةِ فِي رَمَضَانَ كَانَ الَّذِي تَفُوْتُهُ المغْفِرَةُ فِيْهِ مَحْرُوْمًا غَايَةَ الحِرْمَانِ
“Tatkala semakin banyak sebab mendapatkan pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapatkan pengampunan tersebut, sungguh dia benar-benar telah bernasib buruk.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Semoga bermanfaat sebelum mengawali bulan Ramadhan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.