Kamis, 18 Juni 2015
Bolehkah Wanita Memakai Pakaian Berwarna-Warni?
dakwatuna.com – Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya. Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya. Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.
Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:
“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pasa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)
Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.
Riwayat pertama: Warna merah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)
Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ
Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)
Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ
Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)
Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)
Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)
Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.
Riwayat kedua: Warna hijau
Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi ﷺ.
Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah
Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , No. 24748)
Riwayat keempat: motif warna warni
عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ
Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823)
Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam
Berkata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan Siria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah,Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta) Wallahu a’lam. (dakwatuna/usb)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/06/16/70131/bolehkah-wanita-memakai-pakaian-berwarna-warni/#ixzz3dPyhRIDf
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Kisah Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari
Berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam
Berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam
Surga itu mahal harganya. Tapi banyak orang yang berkhayal bisa membayarnya hanya
Berapa harga Syurga ?
Dikisahkan bahwa Ibrahim bin Adham pernah melakukan suatu perjalanan, tiba-tiba di tengah perjalanan ia mencari sebuah tempat untuk menunaikan hajatnya (toilet). Tampak seorang pemuda berjaga di tempat tersebut, lalu mengatakan: “jika kau mau masuk ke tempat ini, haruslah kau membayarnya” ungkapnya pada lelaki paruh baya itu. Mendengar ucapan tersebut, Ibrahim bin Adham pun terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda tersebut heran, seraya berkata: "jika kau tak punya uang, carilah tempat lain”. Ibrahim bin Adham pun menjawab: “aku menangis, bukan karena tidak memiliki uang. Aku menangis karena merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus dibayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indah…”------Ibrahim bin Adham adalah tokoh yang terkenal sholih, hidup sekitar tahun 100-165 hijriyah------------------------Surga itu mahal harganya. Kenikmatannya tak tertandingi. Sedikit saja kenikmatannya melebihi seluruh kenikmatan dunia dan seisinya. Siapa yang mau masuk surga maka –pada dasarnya- harus membelinya dengan sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya."Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga." (HR. Al-Tirmidzi)“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka”. (QS At Taubáh: 111)."Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Shaff: 10-12)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :“Jaminlah bagiku enam hal, niscaya aku jamin surga bagi kalian; jujurlah dalam berbicara, tepatilah apabila berjanji, tunaikanlah amanah yang diberikan kepadamu, jagalah kemaluanmu, tahanlah pandanganmu, dan tahanlah tanganmu (dari berbuat dosa) (HR Ahmad, Al Baihaqi, Al Hakim, Ibnu Hibban )Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya"(HR Bukhari)Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua rahangnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan."Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406].Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.Ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR Bukhari)
5 Amalan Pelebur Dosa di Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sampai-sampai dikatakan oleh para ulama, kalau tidak di bulan Ramadhan mendapatkan ampunan lantas di bulan mana lagi?
Berikut disebutkan beberapa amalan yang bisa melebur dosa di bulan Ramadhan.
1- Shalat lima waktu, bertemu dengan hari Jumat dan bertemu dengan Ramadhan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
2- Amalan puasa Ramadhan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144)
3- Qiyam Ramadhan (shalat Tarawih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)
4- Menghidupkan shalat malam pada Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan bahwa pengampunan dosa pada lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah usai. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 365-366)
5- Zakat fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Zakat fitrah di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitrah akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fitrah adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, pen.) dalam shalat, yaitu untuk menutupi kekurangan yang ada. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 377)
Kalau banyak ampunan seperti itu di bulan Ramadhan, seharusnya setiap yang keluar dari bulan Ramadhan keadaannya sebagaimana disebutkan oleh Muwarriq Al-‘Ijliy,
يَرْجِعُ هَذَا اليَوْمَ قَوْمٌ كَمَا وَلدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ
“Hari ini kembali suatu kaum sebagaimana mereka baru dilahirkan oleh ibu-ibu mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 366). Artinya, mereka kembali bersih dari dosa.
Sungguh sangat disayangkan jika keluar dari bulan Ramadhan tidak membawa ampunan apa-apa.
Qatadah rahimahullah mengatakan,
مَنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي رَمَضَانَ فَلَنْ يُغْفَرَ لَهُ فِيْمَا سِوَاهُ
“Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain (di luar Ramadhan), ia pun akan sulit diampuni.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan,
فَلَمَّا كَثُرَتْ أَسْبَابُ المغْفِرَةِ فِي رَمَضَانَ كَانَ الَّذِي تَفُوْتُهُ المغْفِرَةُ فِيْهِ مَحْرُوْمًا غَايَةَ الحِرْمَانِ
“Tatkala semakin banyak sebab mendapatkan pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapatkan pengampunan tersebut, sungguh dia benar-benar telah bernasib buruk.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Semoga bermanfaat sebelum mengawali bulan Ramadhan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sampai-sampai dikatakan oleh para ulama, kalau tidak di bulan Ramadhan mendapatkan ampunan lantas di bulan mana lagi?
Berikut disebutkan beberapa amalan yang bisa melebur dosa di bulan Ramadhan.
1- Shalat lima waktu, bertemu dengan hari Jumat dan bertemu dengan Ramadhan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
2- Amalan puasa Ramadhan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144)
3- Qiyam Ramadhan (shalat Tarawih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)
4- Menghidupkan shalat malam pada Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan bahwa pengampunan dosa pada lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah usai. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 365-366)
5- Zakat fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Zakat fitrah di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitrah akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fitrah adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, pen.) dalam shalat, yaitu untuk menutupi kekurangan yang ada. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 377)
Kalau banyak ampunan seperti itu di bulan Ramadhan, seharusnya setiap yang keluar dari bulan Ramadhan keadaannya sebagaimana disebutkan oleh Muwarriq Al-‘Ijliy,
يَرْجِعُ هَذَا اليَوْمَ قَوْمٌ كَمَا وَلدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ
“Hari ini kembali suatu kaum sebagaimana mereka baru dilahirkan oleh ibu-ibu mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 366). Artinya, mereka kembali bersih dari dosa.
Sungguh sangat disayangkan jika keluar dari bulan Ramadhan tidak membawa ampunan apa-apa.
Qatadah rahimahullah mengatakan,
مَنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي رَمَضَانَ فَلَنْ يُغْفَرَ لَهُ فِيْمَا سِوَاهُ
“Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain (di luar Ramadhan), ia pun akan sulit diampuni.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan,
فَلَمَّا كَثُرَتْ أَسْبَابُ المغْفِرَةِ فِي رَمَضَانَ كَانَ الَّذِي تَفُوْتُهُ المغْفِرَةُ فِيْهِ مَحْرُوْمًا غَايَةَ الحِرْمَانِ
“Tatkala semakin banyak sebab mendapatkan pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapatkan pengampunan tersebut, sungguh dia benar-benar telah bernasib buruk.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)
Semoga bermanfaat sebelum mengawali bulan Ramadhan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Langganan:
Postingan (Atom)