Rabu, 10 Juni 2015

Aku Wanita Yang Di Poligami



Aku menikah muda. Kala itu, usiaku tak lebih dari 19 tahun dan baru saja lulus SMU. Wanita yang kuperisteri saat itu bahkan baru 16 tahun. Ia hanya lulus SLTP, karena keluarganya pun seperti keluargaku, miskin, tak punya cukup biaya untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi.
Namaku Arman, dan isteriku Salimah. Kami tinggal di sebuah dusun, yang termasuk wilayah sebuah desa kecil, di sisi barat Jawa.
Di desa kami, usia seperti kami bukanlah usia muda untuk menikah, minimal untuk ukuran pada masa itu. Pada zaman sekarang, ukuran itu memang sudah mengalami dinamika. Makin sedikit saja pasangan muda yang menikah. Berbanding lurus dengan makin banyak pula wanita-wanita yang telat menikah. Meski jumlahnya tak sebanyak di kota-kota besar.
Kami menjalani pernikahan dengan segala suka duka yang kami alami. Latar belakang kami dari keluarga yang cukup religious, meski tradisional. Dalam arti, kami masih terbiasa hidup dalam nuansa yang menggabungkan nilai-nilai religi Islam, dengan adat tradisional. Orang Sumatra menyebut kami dari kalangan kaum tua.
Aku kurang begitu mengerti soal itu. Meski setelah beberapa tahun menikah, aku mulai sedikit mendalami agama melalui beberapa orang ustadz, di musholla dekat rumah. Lewat mereka, aku mulai dikenalkan dengan upaya banyak ulama untuk menjernihkan agama dari pengaruh bid’ah dan khurofat. Aku sangat memahami paparan-paparan mereka. Tapi, tentu sulit bagi keluarga kami, untuk meninggalkan berbagai tradisi nenek moyang yang sudah lama kami jalankan. Meski kami tahu, sebagian di antaranya berbau kemusyrikan. Wal ‘iyyaadzu billah.
Kedua orang tuaku, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kami di desa yang sama, juga mengikuti perkembangan tersebut. Mereka juga sepertiku, sulit meninggalkan tradisi lama kami. Tapi, minimal aku mengerti, bahwa mereka tidak lagi apatis terhadap pemahaman-pemahaman seperti yang disampaikan oleh para ustadz secara bergiliran, di musholla kami itu. Meski kecil, tapi cukup membanggakan, karena setidaknya ada 2 taklim dalam sepekan.
Selain dua majelis itu, kadang beberapa ustadz senior di desa kami yang berpemahaman kaum tua, juga ikut mengisi. Wajarlah, bila akhirnya sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan jama’ah yang hadir. Pro dan kontra.
Aku tidak akan berbicara banyak soal itu. Aku hanya ingin menceritakan kepada pembaca, tentang perjalanan hidup rumah tangga kami.
***
Tak terasa, sudah 10 tahun kami berumah tangga. Umurku kini menginjak 30 tahun, sementara isteriku 26 tahun. Kami sudah dianugerahi 3 orang anak. Yang sulung sudah 9 tahun.
Selama satu dasawarsa tersebut, di antara kami sudah terjalin saling pengertian yang cukup manis. Setidaknya, begitulah dalam pandangan kami. Mengingat banyak teman yang menikah di rentang usia mirip dengan kami, tapi rumah tangganya terbilang kacau balau. Sering mengalami percekcokan yang nyaris tak berujung. Bahkan tak sedikit yang akhirnya bercerai, hanya setelah 3 atau 4 tahun menikah.
Kegamangan pertama rumah tangga kami, terjadi beberapa bulan lalu, saat hamper masuk tahun ke sebelas pernikahan. Ibunda Salimah, yang sangat dicintai dan mencintai isteriku meninggal dunia. Usianya baru 48 tahun. Beliau wafat karena penyakit paru-paru yang tak kunjung sembuh. Dan kami memang tak punya cukup uang untuk melakukan perobatan secara rutin dan memadai. Meski bagaimanapun, semua itu sudah taqdir, dan kami tabah menerimanya.
Walau begitu, isteriku tetap dilanda kesedihan sedemikian rupa. Meski tak menimbulkan prahara dalam rumah tangga, tapi sontak ia berubah menjadi pendiam. Di antara 6 bersaudara –yang kesemuanya sudah menikah dan punya anak-, ia memang yang paling disayang sang ibu. Karena sangat disayang itulah, isteriku menjadi anak yang paling terpukul oleh meninggalnya beliau, berbeda dengan saudara lainnya, yang meskipun bersedih, namun tak terlihat mengalami kegoncangan berarti.
Kesedihan bertambah, saat aku diberhentikan dari perusahaanku. Di situ, aku memang hanya bekerja sebagai satpam. Tanpa aku tahu sebabnya, ada pengurangan jumlah tenaga sekuriti, dan aku termasuk yang di-PHK. Alasan mereka, sebagian besar satpam yang ada adalah veteran tentara. Mereka lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding diriku.
Yah, apa mau dikata. Aku menjadi satpam memang hanya bermodal sabuk hitam karate yang kumiliki. Ijazah relative tak dibutuhkan untuk pekerjaan itu. Akhirnya, aku menganggur beberapa bulan. Namun, Alhamdulillah, aku kembali diterima sebagai sekuriti di perusahaan lain yang lebih kecil, dengan gaji yang tentunya juga lebih sedikit. Tapi aku menerimanya dengan senang hati.
Kedukaan, ditambah dengan kondisi perekonomian keluarga yang semakin surut, membuat rumah tangga kami mengalami masa-masa kritis. Keramahtamahan dan keakraban kami ulai berkurang. Meski, kami bukan tipikal suami isteri yang senang bertengkar. Nyaris tak pernah terjadi percekcokan di antara kami, kecuali dengan hanya ‘marah-marahan’ kecil saja.
Saat itu, aku semakin rajin mengikuti taklim pekanan, terutama hari selasa malam. Isteriku juga ikut serta, bersama banyak warga kampong yang memenuhi musholla kecil itu.
Kajian malam itu membahas tentang keluarga sakinah. Suatu saat, pembahasan menyentuh soal poligami. Aku dan isteriku, cukup terperanjat. Baru saat itu, kami memahami bahwa poligami dalam Islam ternyata begitu kompleks pembahasannya. Selama ini aku hanya mengetahui bahwa pria muslim diperbolehkan melakukan poligami, dengan syarat mampu berlaku adil. Ternyata, hukum poligami juga beragam, tergantung pada situasi, kondisi –baik pribadi maupun orang lain yang ikut terlibat dalam praktik poligami tersebut-, dan banyak hal lainnya.
Di situ, Ustadz MZ juga menjelaskan bahwa banyak orang yang melakukan poligami, tanpa mengikuti aturan, adab, dan etika berpoligami yang ada dalam Islam, sehingga justru menimbulkan citra buruk di masyarakat. Aku terperangah. Ya, tak sedikit kenyataan seperti itu, yang juga aku saksikan pada banyak pelaku poligami.
Padahal, secara umum poligami itu dibenarkan syari’at, meski hokum asalnya adalah mubah dengan syarat. Jadi diperbolehkan saja, tak sampai dianjurkan. Namun bisa berbeda-beda hukumnya, tergantung bagi siapa dan dalam kondisi bagaimana.
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin menjelaskan,
“Poligami disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya dan bertujuan untuk menjaga kemaluannya serta pandangan matanya dari maksiat, selain juga untuk memperbanyak keturunan dan untuk memotivasi masyarakat Islam agar melakukan perbuatan serupa –dengan tujuan-tujuan yang sama-, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Alloh. Mereka bisa menggunakan poligami untuk memperbanyak generasi Islam dan memperbanyak orang-orang yang beribadah kepada Alloh di muka bumi, atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.
Dalilnya adalah firman Alloh (artinya),
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita alin yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” {QS. An-Nisaa’:3}
Demikian juga firman Alloh (artinya),
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan..” {QS. Al-Ahzaab: 21}
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam sendiri memiliki beberapa orang isteri, dan beliau selalu bersikap adil di antara mereka. Beliau pernah berkata,
“Yaa Alloh, inilah yang bisa kulakukan, maka janganlah Engkau mencelaku karena sesuatu yang tidak mampu kulakukan.” Dikeluarkan oleh ashhaabus sunan denga sanad yang shohih. MAksudnya, bahwa sikap adil itu wajib sebatas yang mampu dilakukan oleh manusia, seperti memberi nafkah, mengatur giliran bermalam dan sejenisnya. Adapun cinta kasih dan ‘hubungan seks’, bukanlah sesuatu yang berada dalam kemampuan manusia untuk menciptakannya.
Sesampainya di rumah, aku dan isteriku mendiskusikan kembali soal poligami tersebut. Aneh, isteriku juga menanggapinya tidak dengan dingin, bahkan seringkali ditimpali canda tawa. Biasanya, umumnya wanita tak tertarik membahas poligami. Karena biasanya juga, ketika membayangkan suaminya akan memadu dirinya, sudut pandangnya pada poligami otomatis jadi tidak jelas, cenderung berbaur sinisme. Bahkan ada yang sontak memarahi suaminya, hanya karena secara tak sengaja menyinggung-nyinggung topik poligami. Meski belum terbersit keinginan untuk melakukannya!
Hingga larut malam, kami sibuk membahas soal-soal poligami, yang bagi kami menarik, dan banyak hal yang tak kami ketahui sebelumnya tentang topik ini.
“Kalau aku dipoligami, gimana ya?” tiba-tiba isteriku berkata begitu. Aku terperangah.
Aku sendiri, tak pernah berpikir soal poligami. Apalagi, kondisi perekonomian kami yang seperti ini, membuatku tahu diri untuk sekedar memampirkan topik poligami ke dalam benakku.
“Wah, memangnya kamu mau?”
“Gak tahu ya. Aku hanya membayangkan, kalau aku hidup bersama suami dan maduku , gimana ya?” Ia mengatakan itu, sambil tersenyum lebar. Aku jadi ikut geli melihatnya.
Lewat tengah malam, pembicaraan kami terhenti. Dan setelah itu –aneh sekali- hubungan kami menjadi cair lagi. Seolah-olah kedukaan yang merambati hati isteriku dalam beberapa bulan ini, pupus sama sekali. Hari-hari selanjutnya, kembali kami lalui dengan suasana bahagia. Betapa sejuk dada ini.
*****
2 bulan setelah itu, ada hal yang mengejutkan buat kami. Isteriku, didatangi tamu seorang wanita berusia 34 tahun. Berarti empat tahun lebih tua dariku, dan 8 tahun lebih tua dari isteriku.
Ia juga sudah beberapa bulan mengikuti pengajian di musholla kami. Ia berasal dari desa sebelah, hanya 1 kilometer dari rumah kami. Isteriku juga sudah sering berjumpa dengannya di pengajian. Ia dating dengan hijab sempurna (setidaknya menurut ukuranku). Ukuran jilbabnya lebih lebar dari jilbab isteriku.
Selama hampir dua jam, ia berada di kamar bersama isteriku. Mereka terlibat obrolan panjang, yang kadang diselingi dengan tawa ringan. Terlihat betul keakraban mereka. Padahal setahuku mereka belum lama saling mengenal. Bahkan ini pertama kalinya wanita itu dating ke rumahku. Isteriku sendiri, meskipun supel, tapi tak pernah begitu mudah mudah menjadi akrab dan berbicara begitu lepas seperti saat ini.
Di luar, di ruang tamu, aku duduk sendirian sambil membaca buku. Tak lama, wanita itu keluar. Ia menghadap ke arahku yang berada di pojok ruangan, di atas kursi, dengan membentuk kedua tangan bersalaman dari jauh.
“Saya pamit pulang dulu, Mas Arman…” Ujarnya lembut.
“O ya, ya, silahkan…”
Sepulang wanita tersebut, isteriku berhambur ke ruang tamu. Ada senyum tersungging di wajahnya.
“Kenapa, kok senyum-senyum gitu. Menang arisan ya?”
“Enggak, kok mas. Lagi senang aja…”
“Senang kenapa?”
“Mas, kamu saying sama aku gak?”
“Loh, kok pake nanya kayak gitu. Ya saying dong.”
“Begini. Tapi janji, mas jangan marah ya?”
“Ada apa dulu?”
“Pokoknya janji dulu, gak marah, baru aku ngomong.”
“Oke, aku janji.”
“Begini, mas. Menyambung obrolan kita malam itu…”
Hatiku tiba-tiba merasa aneh.
“Sepertinya, aku mau mewujudkan apa yang aku bilang waktu itu…”
“Maksudmu?”
“Bagaimana, kalau mas menikahi mbak Ratna yang tadi bertamu ke sini?”
Dadaku kini berdegup.
“Dia masih gadis dan perawan, Mas. Sampai sekarang belum menikah. Wajahnya lumayan cantik kan, Mas, gak kalah denganku? Aku mau, Mas menikahinya untukku…”
“Maksudmu..”
“Ya. Aku mau, Mas berpoligami. Tapi bukan dengan wanita lain, dengan mbak Ratna itu. Aku merasa cocok dengannya, Mas. Aku juga ingin membantunya, kasihan dia gak nikah-nikah seusia itu. Padahal, yang mau sama dia banyak. Tapi, tadi dia bilang, dia mau kalau yang menikahinya adalah Mas…”
Mataku berkunang-kunang. Perasaanku campur aduk. Aku kehilangan kata untuk menjawab tawaran isteriku yang begitu tiba-tiba, dan sama sekali tak pernah terpikir olehku.
“Jangan khawatir, Aku rela kok, dia menjadi maduku, Mas.”
“Kenapa dia mau aku nikahi?” Kini aku balik bertanya.
“Gak tahu juga, Mas. Tapi yang jelas, saat melihatmu keluar bersamaku dari pengajian, dia kok merasa tertarik ingin menjadi isteri Mas. Makanya, ia memberanikan diri berbicara denganku tadi…”
“Tapi, aku belum pantas berpoligami, Adinda…”
“Justru karena Mas berpendapat begitu, aku malah bersuka hati menawari Mas untuk berpoligami. Kalau Mas begitu getol ingin kawin lagi, aku malah jadi khawatir..”
Wah, aneh. Tak terpikir sedikitpun, kalau aku akan terjebak dalam suasana begini. Isteri yang kucintai, dan selalu hidup bersamaku dalam susah dan senang, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba memintaku untuk berpoligami.
“Tapi, lihat saja, ekonomi kita sedang begini. Dalam kondisi baik saja, kita hidup miskin dan kekurangan. Bagaimana mungkin aku beristeri lebih dari satu? Kamu ini aneh, Adinda..”
“Ah, soal itu gak perlu khawatir, Mas. Kami tadi sudah mengobrolkannya. Kebetulan, mbak Ratna ini juga lumayan berkecukupan. Ia sudah memiliki rumah sendiri, sudah punya mobil meskipun sederhana, Ia juga punya mini market loh…”
Isteriku berbicara panjang lebar soal Ratna, dan aku hanya mendengarkan dengan patuh. Aku tak bisa berkata-kata. Sulit menjabarkan suasana hatiku saat itu. Karena yang berbicara adalah isteriku. Kalau orang lain, mungkin aku tak ambil peduli sama sekali.
“Kalau mau menikahinya, Mas diminta untuk mengelola mini market miliknya, untuk sumber penghasilan bersama…”
“Tapi jangan salah sangka, Mas. Aku mau Mas menikahinya, bukan karena dia kaya. Tapi aku justru ingin menolongnya. Kasihan, sudah usia 34 tahun, tapi ia belum juga menikah. Tapi, karena kondisinya demikian, bagiku akan lebih mudah merealisasikannya…”
Sampai di situ, aku masih terbungkam. Ketika isteriku menanyakan pendapatku, aku hanya bilang, agar ia menunggu hingga esok hari, karena aku betul-betul kebingungan. Bukan aku tak tertarik dengan Ratna. Apalagi, bila menikahinya justru atas permintaan isteri sendiri. Tapi, aku memang betul-betul blank saat itu.
Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Jam tiga dini hari, aku bangkit dari pembaringan, dan melakukan sholat malam. Aku berdo’a, memohon pilihan kepada Alloh. Satu malam itu, aku tak tidur sama sekali.
Pagi harinya, aku mengajak isteriku ke rumah orang tuaku, dan juga menemui bapak isteriku. Kepada mereka, aku menceritakan permintaan isteriku itu. Tanpa diduga sama sekali, mereka semua setuju. Akhirnya, dengan ringan hati, aku pun menerima tawaran isteriku tersebut…
*****
Aku pun kini beristeri dua. Aku berpoligami, di saat aku betul-betul tak menginginkannya, bahkan tak pernah memikirkan sebelumnya. Setelah menikahi Ratna, aku baru tahu bahwa ternyata keberadaan isteri keduaku itu menjadi obat buat isteriku, atas kematian ibundanya. Satu hal yang tak pernah kubayangkan pula sebelumnya.
Bagi isteriku, Ratna bisa menjadi teman mengobrol, kawan curhat, dan berbagi kasih, seperti yang biasa ia lakukan bersama ibunya. Ratna bisa menjadi pengganti ibunya, dalam dimensi yang sama sekali berbeda tentunya, namun memberikan suntikan rasa yang sama: senang dan bahagia.
Semenjak kami berpoligami, kehidupan rumah tangga kami justru semakin semarak, meriah, dan penuh keceriaan. Isteriku sekarang bahkan terlihat jauh lebih berbahagia, ketimbang saat-saat kami masih hidup berdua, sebelum ibunya wafat. Sering kami berpergian bersama, mengunjungi karib kerabat dari pihakku, pihak Salimah, atau pihak Ratna.
Aku tak lagi bekerja sebagai satpam. Aku sibuk mengurus bisnis keluarga yang Alhamdulillah berjalan dengan baik. Aku tak tahu, apa lagi yang bisa aku ungkapkan kepada pembaca sekalian. Yang jelas, aku tak bisa menyarankan siapapun untuk mengambil langkah, seperti yang aku lakukan. Karena bisa jadi, kondisi kita tak sama, atau bahkan jauh berbeda. Tapi yang jelas, POLIGAMI telah menjadi salah satu sumber kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga kami. Terserah, anda setuju atau tidak….
Sumber: Diketik ulang oleh al Akh Abu Abdillah Huda dari dari buku “Aku Wanita Yang Dipoligami”, Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyir

Sedekah Terhadap Binatang

Mari Kita Sadari bersama bahwa sebenarnya  Sedekah itu Bukan hanya pada Manusia
tetapi juga pada Binatang

Seperti contoh Pahala seorang guru adalah pahala yang tak akan putus sampai akhir jaman. Tapi lebih dari itu, pahala seorang pendiri sekolah adalah pahala yang lebih berlipat lagi dari pahala seorang guru.
Sedekah yang kita berikan akan dilipat gandakan 10X oleh Allah. Tapi jika sedekah kita untuk perjuangan di jalan Allah, maka akan dilipat gandakan hingga 700X oleh Allah.
Ingin pahala berlipat-lipat ganda dan tak akan putus sampai hari kiamat? Sedekahkan pada sekolah. Ingin pahala tadi dilipat gandakan hingga 700X lipat? Sedekahkanlah pada pondok pesantren. 
Ini adalah logika sederhana tentang sebuah pahala yang tak akan terhenti walau kita telah meninggal nanti. Ini penting karena berkaitan dengan bekal di akherat nanti. Bisa menjadi penyelamat saat perhitungan dilakukan oleh Allah terhadap umatNya…..
“Sungguh, Shodaqoh memiliki pengaruh yang ajaib untuk menolak berbagai macam bencana sekalipun pelakunya orang yang fajir (pendosa), zholim, atau bahkan orang kafir, karena Alloh akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan shodaqoh tersebut.”
(Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)

 Ingatlah Pirman Alloh dalam Al-Quran

 أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
”... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134)
Keikhlasan mengeluarkan infak atau sedekah menjadi petanda kekuatan iman seseorang, kerana infak tergolong amal soleh yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa-Ta’ala. Allah menjanjikan pahala yang amat besar kepada orang-orang yang suka berinfak:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِىسَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فىِ كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاغِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, seumpama suatu biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai seratus biji, dan Allah melipat gandakan bagi orang yang dikehendaki dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) dan Maha Mengetahui.” (al-Baqarah, 2: 261)
آمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَاَنْفَقُوا لَهُمْ اَجْرٌ كَبِيرٌ
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (sebahagian) dari hartanya memperolehi pahala yang besar". (Al-Hadid, 57: 7)
يَا اَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ اْلأرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ اِلاَّ اَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا اَنَّ اللهَ غَنِىُّ حَمِيْدٌ
"Hai orang-orang beriman, infakkanlah sebahagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu! Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infakkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mahu mengambilnya melainkan dengan memejamkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahawa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (al-Baqarah, 2: 267)Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna daripada seseorang yang bersedekah ketika tidak ada pilihan lainnya kecuali harus bersedekah.
Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda lagi sehat bersedekah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekahari .
Tetapi ada yg lebih sederhana dari itu, Adalah Bersedekah terhadap Binatang yakni dengan cara bila ada nasi sisa yg akan Kita buang ke Tong Sampah, tetapi dalam hati kita bersedekah untuk Binatang,
lalu Minta doa padanya bahwa Rizki yg Kita Sedekahkan itu Sesungguhnya Milik Binatang tersebut karna Alloh menitipkannya melewati Kita, itu Kuncinya
Sadarilah bahwa Rizki yg hanya untuk Kita adalah apa yg Kita makan, selebihnya Milik Orang lain termasuk juga Makhluk Alloh yg bernama Binatang
Subhanalloh Semoga Alloh membuka hati dan pikiran Kita semua agar lapang untuk Bersedekah Aamiin

Dari Abu hurairah r.a katanya Rasulullah s.a.w. pernah bercerita;

Pada suatu ketika ada seorang lelaki sedang berjalan melalui sebuah jalan, lalu dia merasa sangat haus. Kebetulan dia turun ke sebuah sumur untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah kerana haus.
Orang itu berkata dalam hatinya, “Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru kualami.”
Lalu dia turun kembali ke sumur dan menceduk air dengan sepatunya, kemudian dibawa ke atas sebelum diberi minum kepada anjing tersebut.
Maka Allah berterima kasih kepada lelaki itu (diterima amalannya), dan diampuni dosanya.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah s.a.w., dapat pahalakah kami menyayangi haiwan ini?”
Jawab Rasulullah s.a.w., “Menyayangi setiap makhluk hidup (tumbuhan dan haiwan) berpahala (ada pahalanya).”
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah r.a., katanya; Rasulullah s.a.w. bercerita;

Pada suatu ketika, ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba seorang wanita pelacur bangsa bani Israil terpandang anjing tersebut. Maka dia membuka sepatunya, kemudian diceduknya air dengan sepatu tadi, lalu diberinya minum anjing yang hampir mati itu.
Maka Allah s.w.t. mengampuni segala dosa wanita itu (dengan asbab amalnya memberi minum kepada anjing).
Dari Abu hurairah r.a katanya Rasulullah s.a.w. pernah bercerita;
Pada suatu ketika ada seorang lelaki sedang berjalan melalui sebuah jalan, lalu dia merasa sangat haus. Kebetulan dia turun ke sebuah sumur untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah kerana haus.
Orang itu berkata dalam hatinya, “Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru kualami.”
Lalu dia turun kembali ke sumur dan menceduk air dengan sepatunya, kemudian dibawa ke atas sebelum diberi minum kepada anjing tersebut.
Maka Allah berterima kasih kepada lelaki itu (diterima amalannya), dan diampuni dosanya.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah s.a.w., dapat pahalakah kami menyayangi haiwan ini?”
Jawab Rasulullah s.a.w., “Menyayangi setiap makhluk hidup (tumbuhan dan haiwan) berpahala (ada pahalanya).”
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah r.a., katanya; Rasulullah s.a.w. bercerita;

Pada suatu ketika, ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba seorang wanita pelacur bangsa bani Israil terpandang anjing tersebut. Maka dia membuka sepatunya, kemudian diceduknya air dengan sepatu tadi, lalu diberinya minum anjing yang hampir mati itu.
Maka Allah s.w.t. mengampuni segala dosa wanita itu (dengan asbab amalnya memberi minum kepada anjing).
Allohuallam Bissawab 

JANGAN TERTIPU

Muhammad bin Assammaak ketika melihat kubur berkata: "Kamu jangan tertipu kerana tenangnya dan diamnya kubur-kubur ini, maka alangkah banyaknya orang yang sudah bingung didalamnya, dan jangan tertipu kerana ratanya kubur ini, maka alangkah jauh berbeza antara yang satu pada yang lain didalamnya. Maka seharusnya orang yang berakal memperbanyak ingat pada kubur sebelum masuk kedalamnya."

Berbaik Sangka Saja

Merendahkan Saudara Muslim

Haram seseorang merendahkan saudaranya. Yaitu dia berkeyakinan bahwa saudaranya lebih rendah dari dirinya karena keturunannya, daerahnya, pekerjaannya,dan sebab-sebab lain. Merendahkan saudaranya bertentangan dengan kewajiban untuk memuliakannya. Karena bagaimanapun keadaan seorang muslim ada pada dirinya keimanan, ketauhidan, dan lain-lain dari ketaatan yang wajib untuk dimuliakan.

Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu berkata, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jangan kalian membeli suatu barang yang (akan) dibeli orang. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, tidak layak untuk saling menzhalimi, berbohong kepadanya dan acuh kepadanya. Taqwa itu ada disini (beliau sambil menunjuk dadanya 3 kali). Cukuplah seseorang dikatakan jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Haram bagi seorang muslim dari muslim yang lainnya, darahnya, hartanya, dan harga dirinya” (HR. Muslim)

Ya Allah

Ya Allah, inilah aku, hamba yang telah Kau beri nikmat, sebelum dan sesudah Kau ciptakan,


Telah Kau perintahkan aku untuk mematuhiMu tapi aku membangkang,
 

Telah Kau larang aku mengerjakan maksiat tapi aku melawan,
 

Karena hawa nafsu dan musuhMu membantuku melakukan itu
 

Inilah aku di hadapanMu, kecil, hina, rendah dan ketakutan,
 

Mengakui dosa besar yang sudah kulakukan
 

Dan begitu banyak kesalahan yang sudah kukerjakan
 

Ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil hingga yang besar yang kiranya tidak akan terampuni bila aku tidak memohon ampunanMu dengan sepenuh hati,
 

Ya Allah,Ampunilah semua dosa-dosaku yang sengaja aku lakukan atau yang tiada pengetahuanku tentang dosa yang sudah aku lakukan,
 

Ya Allah, Ampunilah semua dosa-dosaku yang kemarin, hari ini dan yang aku lakukan di sisa umur pemberianMu ini
 

Ya Allah, Berikanlah kepadaku ampunan seperti yang Kau berikan ampunan pada orang-orang yang Kau kasihi,
 

Berikanlah kepadaku hari ini bagian untuk memperoleh keuntungan dari ridhaMu
  

Ya Allah, aku telah banyak berbuat zhalim terhadap diriku sendiri, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka curahkanlah ampunan dan belas kasih kepadaku dari sisi-Mu. Sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
 

Y a Allah, Ampuni Hambamu ini yang terlalu banyak Menuntut KepadaMu Yang telah lalai akan kewajiban sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
 

ALLAHUMMAGFIRLII KHATIIATII WAJAHLII WAISRAA FII AMRII KULLIHI WAMAA ANTA A’LAMU BIHI MINNI
 

AAMIIN



Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan dan keterlaluanku dalam segala urusan, dan ampuni pula segala dosa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku


Imam Shafi’i Berkata : 



 ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]
Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :
“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.
Surat Dari Seorang Ibu

Surat ini benar-benar menyentuh hati saya. ketika membaca tulisan ini saya merasa trenyuh dan larut dalam suasana haru. Terbayang wajah ibu saya, yang telah melahirkan, mendidik, dan membesarkan dengan penuh kasih sayang. Ibu adalah yang terbaik bagiku. Tak pernah ada kata tidak untuk kami anak-anaknya ketika meminta sesuatu. Semoga Allah membalas kebaikan ibu dengan pahala yang besar. Semoga Allah senantiasa membimbing dan memberi petunjuk kepada saya untuk selalu memperlakukan ibu dengan baik serta mengasihinya sebagaimana ibu mengasihi kami, anak-anaknya.
Robbigh firlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii soghiiroo
Silahkan dibaca …………..
Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu grmbira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu dan budakmu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.
Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau berkata: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu
[Diketik ulang dari buku 'Kutitip Surat Ini Untukmu' karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc rahimahullah]