Sabtu, 23 Mei 2015

Kisah berikut ini bisa menjadi bukti nyata atas Alam Kubur

Kisah berikut ini bisa menjadi bukti nyata atas Alam Kubur
Imam Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sari’ Asy-Syami bahwasanya khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada seorang pejabat yang menjadi kawan duduknya: “Wahai fulan, semalaman saya berkeringat dingin karena memikirkan sesuatu.”
Para pejabat negara pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dipilih dari kalangan orang yang shalih, bertakwa, berilmu, jujur dan amanah. Pejabat itu bertanya, “Apa yang sedang Anda pikirkan, wahai Amirul Mukminin?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Saya memikirkan tentang kuburan dan penghuninya. Jika saja engkau melihat seorang yang telah mati setelah tiga hari dalam kuburannya, niscaya engkau akan merasa takut untuk mendekatinya, meskipun sebelumnya engkau telah bergaul akrab dengannya dalam waktu yang sangat lama.”
“Jika engkau melihatnya, maka engkau akan melihat sebuah rumah yang dipenuhi oleh serangga-serangga tanah [rayap], dialiri oleh nanah, dilubangi oleh cacing-cacing, baunya telah berubah dan kain kafannya telah rusak. Padahal sebelum itu postur tubuhnya bagus, baunga wangi dan pakaiannya putih bersih.”
Umar bin Abdul Aziz lalu menangis tersedu-sedu, hingga akhirnya beliau pun pingsan. (Sayyid Husain Al-Affani, Sakbul ‘Abrat lil-Maut wal Qabr was Sakarat, 1/642)
Saudaraku seislam dan seiman
Inilah pikiran “cerdas” yang membuat khalifah yang agung ini tidak bisa tidur semalam suntuk, menangis karena besarnya rasa takut kepada Allah Ta’ala, dan kemudian pingsan.
Betapa kita sebagai rakyat jelata, yang bukan apa-apa, yang tidak sibuk mengurus urusan satu setengah milyar umat Islam ini, harus senantiasa berintrospeksi diri. Sudah terlalu lama kita tersibukkan oleh urusan mengejar dunia kita hingga kita melalaiakan urusan setelah kematian kita. Semoga kita segera tersadar dan menyiapkan perbekalan yang terbaik untuk hari yang sangat mengagetkan dan menakutkan tersebut.
Dari Syadad bin Aus radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Orang yang cerdas adalah orang yang berintrospeksi diri dan beramal sebagai bekal untuk kehidupan setelah ia mati. Adapun orang yang lemah [bodoh] adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan [mendapat ampunan dan ridha] Allah Ta’ala [tanpa melakukan taubat nashuha dan amal shalih].” (HR. Tirmidzi no. 2459, Ibnu Majah no. 4260, Ahmad no. 17123, Al-Baihaqi no. 6588, Ath-Thabarani no. 7143, Al-Hakim no. 191 dan Al-Baghawi no. 4117)
Wallahu a’lam bish-shawab
(muhib al majdi/arrahmah.com)


Secuil Kisah Keadilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Kisah-kisah para pendahulu kita dari kalangan shohabat maupun thabi’in  memang penuh dengan hikmah-hikmah yang mengagumkan. Tiap kali selesai membaca satu kisah maka hati akan tergerak menuju kisah lain di lembar berikutnya. Kini, kami suguhkan satu kisah menarik yang dituliskan Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya dalam kitabnya Shuwar Min Hayati At-Thabi’in. Ath-Tabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdas:

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khilafah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya:
“Buatlah di negerimu pondok-pondok untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolong baginya dan tidak ada kendaraannya yang bisa dia tunggangi, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa kembali ke negerinya.”
Maka sang gubernur segera mewujudkan perintah Amirul Mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan Amirul Mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu tersebarlah berita tersebut ke segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di barat dan timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan Khalifah serta ketakwaannya.
Mendengar hal itu penduduk Samarkand tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, hingga mereka mendatangi gubernur mereka Sulaiman bin As-Sari dan berkata,
“Sesungguhnya pendahulu anda yang bernama Qutaibah bin Muslim Al-Bahili (Panglima Mujahidin) telah merampas negeri kami tanpa memberikan peringatan (dakwah) terlebih dahulu, dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin- yakni memberikan peluang sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak kalian menyuruh mereka untuk membayar jiyzah. Jika mereka menolaknya barulah kalian mengumumkan perang.
Sesungguhnya kami melihat keadilan Khilafah anda dan ketakwaannya sehingga kami berhasrat untuk mengadukan kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka izinkanlah, wahai Amir, agar salah satu dari kami melaporkan hal itu kepadaKhalifah anda dan untuk mengadukan kezaliman yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”
Perlu diketahui, kota Samarkand adalah sebuah kota di Uzbekistan yang ditaklukan oleh panglima mujahidin Qutaibah bin Muslim Al-Bahili.
Kemudian Sulaiman mengizinkan salah seorang dari mereka menjadi wakil untuk menemui Khalifah di negeri Damsyik (Damaskus). Ketika utusan tersebut sampai di rumah Khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada Khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khilafah menulis surat untuk gubernurnya Sulaiman bin As-Sari yang isinya:
Amma ba’du. Jika telah sampai kepada anda surat ini, maka
sediakanlah seorang qadhi untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari pengaduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkanlah kepada seluruh pasukan muslimin untuk meninggalkan kota mereka dan segera kembali ke negeri asal mereka. Lalu kembalikanlah keadaan seperti semula sebagaimana kita belum mendatangi mereka. Yaitu sebelum Qutaibah bin Muslim Al-Bahili masuk ke negeri mereka.”
Sampailah sang utusan kepada Sulaiman bin Abi As-Sariy kemudian diserahkannya surat dari Amirul Mukminin kepada beliau, segera gubernur menunjuk seorang qadhi yang terkemuka Juma’i bin Hadhir An-Naji.
Sang qadhi mempelajari pengaduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan persoalan mereka, juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand. Maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan memenangkan urusan di pihak mereka.
Seketika itu juga, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin (mujahidin) untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka, namun tetap bersiap-siap berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan lain, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukan mereka.
Ketika para pemuka penduduk Samarkand mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain,
“Celaka, kalian telah bercampurbaur dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka, sedangkan kalian mengetahui kepribadian, keadilan dan kejujuran mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kalian, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka…”
Lihatlah pandangan pemuka penduduk Samarkand yang saat itu masih kafir terhadap kaum muslimin. Tidakkah kita merindukan kejayaan dan kemuliaan kaum muslimin saat itu sehingga islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam? Ketika kita bandingkan dengan keadaan hari ini, Subhanalloh, kemana sajakah kaum muslimin hari ini? Mereka ditimpa kehinaan, kelemahan sehingga orang-orang kafir mampu menguasai mereka dan berbuat sesuka mereka. Mereka menjarah kekayaan kaum muslimin, membunuhi putra-putra terbaiknya, memaksakan hukum dan undang-undang kafir serta budaya menjijikan mereka tengah-tengah kaum muslimin.
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Bila kalian berjual beli ‘inah, dan kalian mengikuti ekor-ekor kerbau, dan kalian rela dengan pertanian serta kalian meninggalkan jihad; maka Allah kuasakan terhadap kalian kehinaan yang tidak diangkat-Nya sampai kalian kembali kepada dien kalian.”  (HR. Abu Dawud)
Maka benarlah apa yang disebutkan Syaikh Abu Muhammad Al-‘Adnani As-Syami, Juru Bicara resmi ISIS (Daulah Islamiyah Iraq dan Syam) dalam rilisannya ‘Aksi Damai Agama Siapa?’:
“Inilah penyakit kita dan bahwa sumber kehinaan kita adalah: Kecenderungan kepada dunia dan meninggalkan jihad, sehingga bila kita ingin melenyapkan kedzhaliman dan meraih kemuliaan, maka kita wajib membuang undang-undang syirik buatan itu dan memberlakukan syari’at Allah, sedangkan tidak ada jalan untuk mencapai hal itu kecuali dengan jihad di jalan Allah.”
Benar wahai syaikh, tak ada cara lain untuk menghapus kehinaan kecuali dengan jihad di jalan Alloh. 

Pelita si Buta


Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Melihat hal itu, orang buta tersebut terbahak dan berkata, "Buat apa saya bawa pelita ? Kan sama saja buat saya ! Saya bisa pulang kok."
Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut.
Tak berapa lama dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata ! Beri jalan buat orang buta dong !" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
-----***-----
Kemudian orang buta tersebut melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta ? Tidak bisa lihat ya ? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat !"
Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta ! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam !"
Si buta tertegun. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."
Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.
-----***-----
Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta tersebut. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam ?"
Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama."
Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta ?"
Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya.," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
-----***-----
Ketika mereka sedang mencari pelita mereka, lewatlah seseorang. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Sepertinya saya perlu membawa pelita, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."
Refleksi Hikmah :
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan !).
Si buta pertama, mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, TIDAK SADAR bahwa LEBIH BANYAK JARINYA yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama, mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun sebenarnya mereka bisa melihat.
Penabrak kedua, mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua, mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat, mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing ? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam ? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.
---------- www.alkisaah.blogspot.com ----------

Curhat Seorang Suami tentang Istrinya

Seorang suami mengeluh karena merasa capek... capek dan capek. kesellll aja bawaanya. Ia terlalu capek bekerja sendirian dan ingin agar isterinya membantu mencari nafkah sebab selama ini menurutnya, Ia merasa isterinya itu Tidak Bekerja dan tidak berguna karena tidak bisa menghasilkan pemasukan tambahan" hingga akhirnya si suami ini pergi untuk konsultasi

Berikut tanya jawab antara seorang suami (S) dan Psikolog (P).

P : Apakah pekerjaan pak Bandy?
S : Saya bekerja sebagai akuntan di sebuah Bank.

P : Isteri Bapak?
S : Dia tidak bekerja. Hanya ibu rumah tangga saja.

P : Setiap pagi siapa yang menyediakan sarapan?
S : Isteri saya menyediakan sebab dia tidak bekerja.

P : Jam berapa isteri bangun untuk menyediakan sarapan?
S : Sebelum Subuh dia sudah bangun karena sebelum membuat sarapan dia beres-beres rumah dulu dan juga mencuci pakaian.

P : Anak-anak pak Bandy ke sekolah bagaimana?
S : Isteri saya yang mengantar sebab dia tidak bekerja.

P : Selepas mengantar anak-anak, apa yang selanjutnya isteri Bapak lakukan?
S : Pergi ke pasar, kemudian kembali ke rumah untuk memasak dan membereskan jemuran. Isteri kan tak bekerja.

P : Petang hari selepas pak Bandy pulang ke rumah, apa yang Bapak lakukan?
S : Beristirahat, karena seharian saya capek bekerja.

P : Lalu apa yang isteri Bapak lakukan?
S : Mijitin badan saya yang pegel-pegel, Sediakan makanan, melayani anak, menyiapkan makan untuk saya dan membereskan sisa-sisa makanan dan bersih-bersih lalu lanjut menidurkan anak-anak.

P: Pak Bandy. coba perhatikan, Menurut anda siapa yang lebih banyak bekerja?
Rutinitas seharian isteri Anda dimulai dari sebelum pagi sehingga lewat malam masih juga dikatakan TIDAK BEKERJA????

Ibu Rumah Tangga memang tidak memerlukan segulung ijazah, pangkat atau jabatan yang besar, tetapi peranan IBU RUMAH TANGGA sangatlah penting Pak ! dari sini, Justru Instri Anda yang lebih banyak bekerja daripada anda sendiri

Jleb !!!!! seperti tertohok oleh pernyataan Psikolog, si Suami baru nyadar kalau anggapan dia selama ini keliru dan salah besar. Ia jadi terharu akan kerja keras istrinya. Ia langsung berpamitan pulang dan buru-buru menemui istrinya untuk meminta ma'af dan memeluknya sambil mengungkapkan kata sayang.

SALUT untuk Ibu Rumah Tangga !!!!!!

Dahsyatnya Pahala Membaca Surat Al-Ikhlas | Mencapai Triliunan Pahala!

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al Khudri: Rasulullah S.A.W. bersabda kepada para sahabat "Apakah susah bagi kalian untuk membaca sepertiga dari Al-Qur'an dalam satu malam?" Saran ini menyulitkan mereka, jadi mereka berkata: "Siapa dari kami yang mempunyai kemampuan melakukannya ya Rasulullah?"Rasulullah bersabda: "Qul huwallaahu ahad (Surat Al-Ikhlas) adalah sama dengan sepertiga Al-Qur'an."Mari kita analisis. Dalam bulan-bulan biasa, setiap huruf dari Al-Qur’an yang kita baca bernilai 10 pahala. Dalam bulan Ramadhan, bisa mencapai 70-700 kali lipatnya.Dalam Al-Qur'an terdapat 323.671 huruf... Itu berarti 3.236.710 (10 x 323.671) pahala kalau kita membaca keseluruhan Al-Qur'an, atau mencapai 226.569.700 (700 x 323.671) pahala di bulan Ramadhan!Tidakkah kalian menginginkan semua pahala itu? Baca saja surat Al-Ikhlas sebanyak TIGA kali, sangat mudah kan? Kalian dapat dengan mudah membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 21 kali dalam 1 menit jika kalian membacanya dengan suara pelan, ini sama dengan membaca keseluruhan Al-Qur'an 7 kali! Atau membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 21 kali sama dengan 22.656.970 pahala atau sebanyak 1.585.987.900 (700 x 22.656.970) pahala di bulan Ramadhan!Bahkan kalian bisa mendapatkan yang lebih lagi!Karena Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang, jika kalian membuat seseorang melakukan amal baik, maka kalian juga akan mendapatkan amal baik yang sama dengan orang itu dan amal baik orang itu tidak akan dikurangi! Jadi misalnya setelah membaca artikel ini, kalian memberitahu 2 orang teman/keluarga kalian untuk membaca surat Al-Ikhlas setidaknya 21 kali sehari (atau sama dengan menamatkan Al-Qur’an sebanyak 7 kali). Maka kalian akan mendapatkan 67.970.910 pahala setiap hari mereka membacanya!Dan di bulan Ramadhan bisa mencapai 47.579.637.000 pahala (700 x 67.970.910). Mari kita asumsikan satu bulan berlangsung selama 30 hari. Maka artinya 2.039.127.300 pahala per bulan! Itu berarti sama dengan: 1.427.389.110.000 (700 x 2.039.127.300) pahala di bulan Ramadhan!!! Itu berarti 1,5 TRILIUN pahala!!!
http://www.lampuislam.blogspot.com/2013/05/dahsyatnya-pahala-membaca-surat-al.html

Kisah Nyata Beranak dalam Kubur

Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid Ibn Ishaq, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Ibn Muhammad al-Umari dari Zaid Ibn Aslam dari ayahnya mengatakan:

“Ketika Umar Ibn Khaththab berkhutbah di hadapan orang banyak, lewatlah seseorang bersama puteranya yang di gendong diatas pundaknya. Umar berkata: “Aku tidak melihat burung gagak yang serupa dengan burung gagak lain melebihi keserupaan ayah dan anak ini.” Apa yang dikatakan Umar adalah perumpamaan. Menurut orang-orang Arab, binatang yang paling serupa satu sama lain dan sulit dibedakan adalah burung gagak. 


Orang itu menjawab: “Demi Allah wahai amirul mukminin, ibu anak ini melahirkan setelah meninggal dunia!” Mendengar hal ini, Umar pun segera membetulkan posisi duduknya dan bertanya: “Aduhai, bagaimana itu bisa terjadi?” Umar bin Khaththab menyukai berita-berita yang menakjubkan atau aneh.

Orang itu menjawab: “Pada saat itu aku ingin melakukan safar (perjalanan jauh) dalam kafilah demikian dan demikian, namun istriku melarangku. Ketika aku sudah sampai di depan pintu rumah pun, dia masih saja bersikeras agar aku tidak pergi. Istriku berkata: 'Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku sementara aku sedang hamil?' Aku pun menenangkannya sembari berkata kepadanya: 'Aku menitipkan janin yang berada didalam perutmu kepada Allah.'" Renungkanlah takdir Allah karena pria ini tidak mendo’akan istrinya dan dia pun pergi. 

"Setelah aku pulang dari bepergianku, aku melihat ada banyak kerumunan orang di depan rumahku, dan anak-anak dari pamanku menghampiriku untuk memberitahu bahwa istriku telah meninggal dunia. Aku sangat bersedih dan terkejut karenanya seraya mengucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Suatu malam ketika aku duduk di Baqi’ bersama anak-anak pamanku untuk makan malam, aku melihat ada asap yang keluar dari kuburan istriku. Aku bertanya kepada anak-anak pamanku: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Kami tidak tahu. Kami hanya melihat asap tersebut setiap malam di kuburan di istrimu.” Aku pun berkata 'Demi Allah, aku orang yang paling mengetahui tentang istriku! Dia sering berpuasa, dia wanita yang mulia, dia beramar ma’ruf nahi munkar sehingga Allah tidak mungkin menghinakannya!' 

Aku lalu mengambil kapak dan bergegas menuju kuburan itu sementara anak-anak dari pamanku mengikutiku dari belakang. Ternyata kuburan itu terbuka dan anak ini berada dipelukan ibunya! Aku mendekat, kemudian ada suara yang berbicara kepadaku: 'Wahai orang yang menitipkan kepada Tuhannya, ambillah kembali titipanmu. Kalau seandainya engkau juga menitipkan ibunya, tentu engkau akan mendapatinya juga.'" Para ulama mengatakan maksudnya adalah andai saja pria itu menitipkan juga istrinya kepada Allah, maka dia akan menemuinya sebagaimana dia menitipkan istrinya itu, yakni istrinya tetap hidup. Tapi takdir Allah telah tetap dan Allah tidak menakdirkan dia untuk mengucapkan do’a itu. Pria itu berkata, "Aku mengambil bayi tersebut dan serta merta kuburan itu kembali menutup.” 

Aku Ja’far berkata: “Aku bertanya kepada Utsman Ibn Zufar tentang kejadian ini, dia menjawab: “Aku mendengarnya dari ‘Ashim.”
.
Referensi: Buku ‘Mereka yang hidup lagi setelah mati’ karya Abu Bakar Ibn Abid Dunya, hal. 58-60 dengan penerbit Pustaka Salafiyah, Banyumas, 2009 dan Ceramah Syekh Saleh al-Maghamsi. Dipublikasikan kembali oleh: antosalafy

http://www.lampuislam.blogspot.com/2014/05/kisah-nyata-beranak-dalam-kubur.html

FITNAH TERBESAR UMMAT INI ADALAH WANITA

Wanita di antara fitnah yang diberitakan oleh Nabi SAW disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, 
"Ada dua golongan manusia (penghuni neraka) dari kalangan ummatku yang sekarang belum kulihat keberadaannya, yaitu segolongan orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi untuk memukuli orang lain dan segolongan wanita yang berpakaian tetapi telanjang dengan langkah yang berlenggak-lenggok memikat lawan jenisnya; (rambut) kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak bakal mencium bau surga."  (HR. Muslim dan Ahmad). 

Adapun mengenai kaum wanita yang dimaksud, maka sesungguhnya pada masa sekarang kita telah sering melihatnya. Mereka berpenampilan memikat hati dan menawan jiwa. Cara jalan mereka diatur sedemikian rupa lenggang-lenggoknya untuk menarik lawan jenisnya dan ternyata pengaruhnya demikian hebat. 

Kini, gadis2 Islam keluar dari rumah orangtuanya dengan merias dirinya dan mengenakan wewangian yang seronok, menanggalkan ajaran Laa ilaaha illallaahke belakang punggungnya seakan-akan memamerkan kepada para lelaki,"Lihatlah! Ini aku!"
Selanjutnya, ia pulang dan apa yang dibawanya ? Tentu saja ia kembali dengan membawa laknat Allah.
Semoga Allah menghindarkan kita dari fitnah ini.

Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Wanita yang mengenakan parfumnya, kemudian berlalu di hadapan kaum lelaki agar mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia sama saja dengan wanita tuna susila." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i). 

Demikian itu karena mata mereka pasti akan memandangnya.
Oleh karena itu, wahai kaum wanita, hindarilah fitnah ini!
Rasulullah SAW telah bersabda, "Aku tidak meninggalkan pada ummatku suatu fitnah pun yang lebih membahayakan kaum lelaki, selain wanita." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).

Iblis tidak mampu menyesatkan banyak manusia yang mendapat petunjuk, kecuali melalui wanita.
Oleh karena itu, saya katakan kepada kaum wanita, mudah-mudahan ada yang mau mendengar dan mudah-mudahan hati mereka terketuk.
Mudah-mudahan mereka merenungkan dan memikirkannya.
Wahai saudariku, wahai ibuku, wahai wanita muslimah, bertakwalah kepada Allah dalam memelihara iman dan kehormatanmu. 
Bertaqwalah kepada Allah dalam bergaul dengan masyarakat.
Bertaqwalah kepada Allah dalam bergaul dengan para hamba dan memelihara negeri, karena engkaulah yang bertanggung jawab atas terjadinya fitnah bila menimpa mereka.
Janganlah engkau menjadi penyebab terjerumusnya orang lain ke dalam mara bahaya. 

Wahai hamba perempuan Allah, jagalah rumahmu !
Jagalah dirimu dan kehormatanmu !
Wahai hamba perempuan Allah, di kemanakankah imanmu ?
Manakah hasil pendidikan Nabi Muhammad SAW ?
Di kemanakankah firman Allah SWT, "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu..." (QS. Al-Ahzaab (33) : 33)


W. N. Laugi





Seorang Ibu dan Putranya yang Meninggal

Aku akan menceritakan padamu sebuah insiden. Beberapa tahun yang lalu di Chicago ada seorang nyonya yang putranya sakit parah. Putranya masih remaja. Kondisinya sangat parah sehingga dia diberikan bantuan pernapasan. Dan dokter akan mencabut selang pernapasan itu karena dia menderita dan kemungkinannya untuk pulih hampir tidak ada. Dan nyonya itu berkata padaku “Aku ingin kau hadir saat putraku meninggal.” Jadi aku berkata pada nyonya itu “Insya Allah aku akan datang.”

Aku masih mengingat kejadian waktu itu. Aku datang ke rumah sakitnya, dan nyonya itu berdiri di samping tempat tidur putranya. Suami nyonya itu duduk di sampingku. Suaminya memakai kursi roda. Sang nyonya berkata pada dokternya “Silahkan, cabutlah bantuan pernapasannya.” Maka dokter pun mencabut selang pernapasan itu dari putranya.

Allahuakbar. Melihat seorang ibu mengggenggam tangan putranya, seiring putranya menghadapi sakaratul maut... Ini adalah sesuatu yang terlalu sukar untuk dilihat. Aku duduk disana karena nyonya itu butuh dukungan dariku. Tapi sangat sulit bagiku mengamati semua ini, sehingga aku menunduk dan air mata mulai mengaliri pipiku. Dan nyonya ini hanya menggenggam tangan putranya sambil menggigit bibir, dia terus berkata pada putranya dalam nada lembut. Dia terus mengulang-ulang ucapannya, “Semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja.” Dia tahu bahwa denyut nadi putranya makin lemah. Dia dapat merasakannya karena menggenggam tangan putranya.

Kemudian dia berkata pada dokternya, “Ketika saat terakhirnya tiba, beritahu aku.” Dokternya berkata “Inilah saat-saat terakhirnya.” Allahuakbar, nyonya ini membungkuk dan mengecup putranya, dan tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat lamanya. Dia terus mengecup putranya sampai ia meninggal. Setelah putranya meninggal, aku berdiri dan berkata padanya “Bibi, maaf karena aku tidak bisa memberimu dukungan pada momen yang sulit ini, karena aku sendiri juga menangis.” Dia berkata padaku “Nak, aku tidak mengundangmu untuk memberiku dukungan. Untuk hal itu aku memintanya pada Allah. Aku telah belajar setelah bertahun-tahun, bahwa satu-satunya yang jadi tempat bergantungmu adalah Allah. Meski begitu, alasan aku memintamu hadir disini adalah aku ingin kau menjadi saksi bahwa aku mencintai putraku.

Ketahuilah, beberapa minggu yang lalu, aku dan anakku bertengkar. Kemudian dia jatuh sakit sementara kami masih bertengkar. Aku tidak punya kesempatan untuk memberitahu betapa aku mencintainya.”

Dan kemudian nyonya itu berkata padaku “Wallahi al-azim, aku bersumpah demi Allah, pada hari dia terlahir, adalah tangan ini yang pertama kali membawanya ke dunia. Aku adalah orang pertama yang mendekapnya dan mengecupnya. Dan hari ini ketika dia meninggalkan dunia, aku ingin kau menjadi saksi bahwa akulah yang terakhir mendekapnya dan mengecupnya.”

Jadi terkadang kita melupakan kedekatan dengan ibu kita pada saat pertengkaran. Tapi dapatkah anda mengakhiri hubungan seorang ibu dan anaknya? Sang nyonya mengecup anaknya setelah anaknya meninggal dunia. Sebelum dia lahir, ibunya yang membawa anak itu di rahimnya. Bahkan pada awal-awal kehamilan, saat anaknya belum bernyawa, ibunya masih tetap mengelus perutnya dan berbicara kepada janinnya. Dia tersenyum padanya dan telah berencana untuk bayi itu.

Begitu juga, sebagaimana ibu mencintai anda, ALLAH S.W.T MENCINTAI ANDA 99 KALI LIPAT MELEBIHI ITU. Tidak peduli betapa seorang ibu mencintai anda, dan sebagian ibu bahkan tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Cinta ini tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata karena cinta ini berasal dari hatinya.

Anda tahu bahwa Romeo dan Juliet tidak bisa mengungkapkan cinta mereka satu sama lain. Tanyakan pada ibu manapun, dapatkah cintanya Romeo dan Juliet menyamai cinta seorang ibu pada anak-anaknya? Sang ibu akan berkata, “Cinta Romeo dan Juliet masih amatiran. Kamilah (para ibu) yang cintanya profesional.” Dan jika anda berpikir bahwa para ibu sudah profesional, Allah s.w.t 99 KALI LIPAT CINTANYA MELEBIHI ITU.

http://www.lampuislam.blogspot.com/2015/04/seorang-ibu-dan-putranya-yang-meninggal.html

Bukankah Tuhan Telah Menetapkan Jodoh Kita?


Semakin dewasa, akhir pekan kian terasa berbeda. Sekarang bukan lagi masanya menggulung diri di dalam selimut, mandi sekali sehari, lalu nonton serial TV seharian. Undangan pernikahan teman yang hampir tiap weekend datang harus dihadiri sebagai tanda penghormatan.

Perasaan bahagia saat melihat teman seperjuangan bersanding dengan pasangan pilihannya sering diikuti dengan pertanyaan yang muncul tanpa diminta,

“Duh, besok bakal bersanding di pelaminan sama siapa ya?”

“Jodoh gue besok kayak gimana ya? Ketemunya masih lama nggak ya?”

Rasa cemas, insecure sebab masih sendiri di usia yang kata orang sudah matang membuat kita merasa harus segera mengikuti jejak mereka. Urusan jodoh, tanpa sadar menjadikan kita manusia yang selalu khawatir — sampai benar-benar jadi pasangan sah di depan negara dan agama.

Padahal jika mau bersabar sedikit saja– bukankah jodoh itu sebenarnya sederhana?

Selama ini kita seperti pecinta alam dan sutradara yang terlampau kreatif. Menerka dan membuka jalan, yang sebenarnya belum tentu diamini oleh Tuhan. Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.

Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.

Ada satu orang sahabat saya yang cuek setengah mati soal urusan cinta. Sampai ulang tahunnya yang ke-24 dia memegang trofi sebagai jomblo abadi. Isi hidupnya hanya kuliah, segala urusan organisasi, ikut penelitian dosen, kumpul-kumpul bersama kami, lalu belakangan ikut kursus pra nikah sesekali. Dengan statusnya yang masih sendiri.

Tapi anehnya sahabat saya ini tidak pernah merasa kekurangan. Di wajahnya selalu bisa kami temukan senyum bahagia, bahkan lebih tulus dari kami yang ditemani pacar ke mana-mana. Dia adalah orang yang berapi-api soal cita-cita. Tak harus dihadapkan pada kegalauan saat ngambek dengan pacar membuatnya bisa menghabiskan waktu untuk banyak menulis dan membaca.

Plot twist pun tiba. Saat kami masih galau soal pekerjaan pertama dan perkara membawa hubungan cinta ke arah mana — kami mendapat kabar bahwa jomblo abadi ini akan menikah dengan pria yang selama ini jadi kawan satu organisasinya. Akad akan dilakukan segera selepas lamaran, demi menghindari hal-hal yang keluar dari ajaran.

Geli rasanya. Kami yang sudah berinvestasi waktu pun perasaan dalam ikatan pacaran sekian lama justru belum berani mengikuti jejaknya. Menghadiri prosesi akadnya seperti membawa kaca ke depan muka:

Jika mau jujur sedikit saja, sebenarnya berapa banyak waktu kita yang sudah terbuang sia-sia?

Saat kami menghabiskan masa muda dengan meratapi sakit hati, dia justru bebas loncat dari satu organisasi ke lembaga kemasyarakatan yang menarik hati. Dia boleh jadi tak merasakan debaran saat bertukar rayuan manis dengan pacar, tapi justru pernikahannya membuat kami sedikit gusar.

Ketika kami terlalu sibuk bertukar janji demi masa depan bersama, sahabat saya ini justru langsung berani menjalaninya — bersama pria pilihannya.

Berkaca dari banyak pengalaman ternyata yang dibutuhkan hanya kemantapan dan sedikit kenekatan. Membangun masa depan tak memerlukan keahlian yang dibiakkan dari pacaran. Membangun masa depan ternyata tak butuh keahlian dari pacaran

Seringkali kalkulasi manusia dan kalkulasi Tuhan berjalan di platform yang berbeda. 1095 hari bersama tidak membawa kemantapan yang sudah ditunggu sekian lama. Kita masih sering memandang wajah orang yang sudah kita genggam tangannya bertahun-tahun lamanya, kemudian membayangkan apakah masa depan benar-benar layak dijalani bersamanya.

Hubungan yang sudah sempurna di mata orang-orang bisa kandas. Perasaan yang kuat ternyata bisa hilang. Bersisian sekian lama, menerka masa depan berdua ternyata tidak menjanjikan apa-apa. Jika memang tidak ada niatan baik untuk membawa hubungan ini ke arah selanjutnya.

Inilah kenapa kisah-kisah “bertemu-orang-yang-tepat” setelah putus dari pacaran bertahun-tahun bermunculan. Kenekatan kerap muncul setelah dikecewakan. Keinginan membangun komitmen ternyata perlu didorong oleh hati yang sudah lelah menghadapi perihnya kegagalan. Ibarat lari maraton panjang, selepas garis finish kita hanya ingin meregangkan otot yang tegang — dalam sebuah peristirahatan yang jauh dari kata menantang.

Ternyata keyakinan untuk bisa membangun masa depan bersama tidak membutuhkantraining bertahun-tahun lamanya. Kita bisa mengeliminasi keharusan PDKT, ratusan kali kencan, dan episode drama yang jumlahnya melebihi jari tangan.

Dalam banyak kasus, justru kemantapan itu datang setelah memantaskan diri sebagai pribadi — selepas dipertemukan dengan orang yang juga sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Jodoh toh bukan aljabar yang harus membuat kita sakit kepala. Bahkan prosesi peresmiannya berlangsung tak lebih dari hitungan menit saja. Haruskah kita galau pada prosesi yang berlangsung dalam hitungan menit saja?

Bukankah tujuan akhir dari selalu ke mana-mana berdua adalah ucapan dalam satu hela nafas,

“Saya terima nikahnya!”

Lucu bukan, jika kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya demi prosesi yang berlangsung bahkan lebih singkat dari wisuda?

Semakin dewasa, setelah jadi saksi bagaimana kawan-kawan menemukan pasangan hidupnya — pandangan kita terhadap jodoh justru akan makin sederhana. Ini bukan lagi soal kencan kemana, memperindah diri dengan baju apa, sampai berapa lama sudah saling mendampingi dan memanggil sayang ke depan muka.

Jodoh ternyata tak lebih dari soal keberanian, kesiapan sebagai pribadi bertemu dengan peluang, keyakinan bahwa hidup tak lagi layak diperjuangkan sendirian. Konsep jodoh yang dengan jelas sudah disiapkan Tuhan sebenarnya tidak menuntut kita untuk galau menantikannya.

Toh dia pasti akan datang sendiri. Bukankah Tuhan tidak akan bermain-main dengan janji?

Kita-kita ini saja yang suka lebay mendramatisir suasana. Merasa paling merana jika belum menemukannya. Merasa hidup kurang sempurna jika belum bertemu pasangan yang bisa menggenapkan separuh jiwa. Padahal jika memang sudah waktunya, pintu jodoh itu akan terbuka dengan sendirinya. Mudah, sederhana, bahkan kadang tanpa banyak usaha.

Kalau memang bukan garisnya, diikat pakai batu akik pun, tak akan jadi jodoh kita seorang anak manusia. Jika memang begini hukumnya — haruskah kita galau dan bercemas diri lama-lama? Haruskah kita galau lama-lama?

Pertunangan bisa gagal, khitbah bisa dibatalkan, pun resepsi bisa di-cancel beberapa jam sebelum perhelatan. Ikatan sebelum pernikahan (ternyata) tidak layak membuat kita merasa aman, pun bangga karena merasa sudah punya pasangan. Sebab ternyata tak ada yang bisa memberi jaminan.

Janji-janji manis yang sudah terucap sebelumya tidak akan berarti apa-apa sampai ada tanda sah di depan negara dan agama. Cincin berlian, atau bahkan batu akik yang sedang hits itu tak akan membantu apapun, jika memang jalan hidup berkata sebaliknya.

Daripada mencemaskan yang sudah tergariskan, mengapa kita tidak mengusahakan yang bisa diubah lewat usaha keras? Rezeki, pekerjaan, membuka kesempatan untuk kembali studi di luar negeri, sampai memutar otak demi membahagiakan orangtua yang sudah tak semandiri dulu lagi misalnya? Hal-hal itu lebih layak mengakuisisi ruang otak kita dibanding terus-terusan galau memikirkan pasangan yang sudah jelas dipersiapkan oleh yang Maha Kuasa.

Akan tiba masanya, ketika kita memandang orang yang tertidur dengan lelap di sisi kanan sembari tersenyum. Ternyata begini jalannya. Ternyata inilah jodoh kita yang telah disiapkan oleh Tuhan. Suatu hari, semua kecemasan yang memenuhi rongga kepala ini hanya akan jadi bahan tertawaan saja.

Bolehkah mulai sekarang kita berusaha lalu berserah saja? Sebab pada akhirnya, jodoh toh sebenarnya sederhana.

http://www.lampuislam.blogspot.com/2015/04/bukankah-tuhan-telah-menetapkan-jodoh.html