Sabtu, 13 Februari 2016

Kisah Mengagumkan

Kisah Mengagumkan Tentang Bersihnya Niat

Tholhah bin ‘Abdirrahman bin’ Auf adalah orang paling terpandang dari suku Quraisy di zamannya.

Suatu hari, isteri beliau berkata kepadanya : “Saya belum pernah melihat ada kaum yang paling mudah mengeluh seperti saudara² Anda.

”Tholhah bertanya : “Kenapa bisa begitu?”

Isterinya menjawab : “Karena saya perhatikan, jika Anda dalam keadaan berharta (kaya), mereka selalu bersama Anda.

Namun, jika Anda tidak memiliki harta (fakir), mereka meninggalkan Anda.

”Tholhah pun menjawab : “Hal ini, demi Allah! Bahkan merupakan kemuliaan akhlak mereka!

Mereka mendatangi kita saat kita memiliki kemampuan untuk memuliakan mereka.Dan mereka meninggalkan kita saat kondisi kita tidak mampu untuk memenuhi hak mereka.”

Imam al-Mâwardî ketika mengomentari kisah di atas mengatakan :

“Perhatikanlah, bagaimana beliau menakwilkan hal ini dengan kemurahan hatinya, sehingga beliau jadikan perbuatan buruk mereka sebagai suatu kebaikan, dan beliau berikan udzur (dispensasi) secara nyata.

Dan hal ini, demi Allâh, menunjukkan bahwa hati yang bersih itu adalah ketenangan di dunia dan ghanimah (harta rampasan) di akhirat, serta merupakan sebab masuk ke dalam surga.

Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS al-Hijr : 47)

Âdab ad-Dunyâ wad Dîn hal. 180 @abinyasalma Channel Telegram al-Wasathiyah wal I’tidâl

Dikutip dari Facebook Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Kutangisi hari hariku yg sia sia

Kutangisi Hari-Hariku Yang Sia-Sia

Wajah saudariku memucat, tubuhnya mengering. Meskipun begitu, ia tetap selalu membaca al-Qur’an.

Jika engkau mencarinya, ia akan senantiasa rukuk, sujud, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit.

Begitulah yang selalu ia lakukan, baik di pagi hari, sore, bahkan tengah malam tanpa jemu. Sementara itu, aku lebih suka membaca majalah sastra dan buku cerita, atau menonton video.

Kewajibanku terbengkalai, bahkan shalatku berantakan. Kendati video sudah kumatikan, tapi aku masih asyik menonton film selama tiga jam berturut-­turut.

Nah, kini adzan berkumandang di mushalla dekat rumahku. Aku kembali ke tempat tidur. Suara saudariku terdengar memanggilku dari mushalla.“Ya, apa yang engkau inginkan, Naura?” kataku.Dengan suara datar saudariku bilang, “Jangan dulu tidur sebelum shalat subuh.”Oh, satu jam lagi baru shalat subuh, karena yang kudengar kali ini baru adzan pertama.
Dengan suara yang lembut -begitulah kebiasaan saudariku, bahkan sebelum menderita penyakit ganas yang jatuh terbaring di ranjang- saudariku memanggilku, “Kemarilah, Hanna, duduklah di dekatku.”Aku tidak kuasa menolak permintaannya.

Engkau pun juga pasti begitu. Jika merasakan ketulusan dan kejernihannya, engkau akan tunduk memenuhi ke­inginannya.“Ada apa, Naura?” kataku.

“Duduklah!”“Ini aku sudah duduk, ada apa?” desakku.Dengan suara yang merdu dan welas asih saudariku membacakan ayat Al-Qur’an,“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (Ali ‘Imran: 185).

Sejenak ia terdiam. Setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bukankah engkau percaya pada kematian?"

“Ya, aku percaya,” jawabku.“Bukankah engkau percaya kalau setiap amalmu kelak akan dihisab, baik yang kecil maupun yang besar?”

“Ya, tetapi Allah Maha Penyayang dan perjalanan masih panjang,” jawabku.“Saudariku, apakah engkau tidak khawatir kematian datang secara tiba-tiba?

Lihatlah Hindun lebih muda darimu, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Lihatlah si ini dan ini. Kematian tidak mengenal usia.”

Dengan suara ketakutan, karena suasana gelap di mushalla, aku berkata, “Aku sudah takut pada kegelapan. Sekarang engkau menakut-nakutiku dengan kematian. Kalau begitu, bagaimana aku bisa tidur?

Kukira engkau ingin memberitahuku bisa ikut pergi bersama kami di liburan ini.

”Tiba-tiba suara saudariku kertak-kertuk di teng­gorokan.

Hatiku begidik. Ia berkata, “Mungkin tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang berbeda.

Bisa jadi begitu, Hanna. Usia itu di tangan Allah.”Setelah berkata demikian, saudariku menangis.

Aku mulai memikirkan penyakit ganas yang ia derita. Diam-diam dokter memberi tahu ayahku bahwa karena penyakit yang diderita, usia saudariku tidak lama lagi.

Tetapi, siapa yang membocorkan hal itu pada saudariku?

Ataukah dia sedang merasakan hal itu?

“Apa yang engkau pikirkan?” kata saudariku membuyarkan pikiranku.

“Apakah engkau kira aku berkata begitu karena aku sakit? Tidak.

Bisa jadi aku hidup lebih lama daripada orang yang sehat. Dan engkau sendiri sampai kapan akan hidup?

Ketahuilah, Hanna, hidup itu hanya sementara. Kemudian apa? Tiap-tiap kita akan pergi meninggalkan dunia ini; ke surga atau neraka. Tidakkah engkau mendengar firman AllahSubhanahu wa Ta’ala,

”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung” (Al Ilmran: 185).’”

“Engkau akan baik-baik saja,” kataku seraya berlari meninggalkannya. Perkataan saudariku terngiang-ngiang di telingaku.“

Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu.

Jangan lupa shalat yang delapan di pagi hari.

”Tidak lama setelah itu, aku mendengar pintu kamarku diketuk orang.

Jelas ini bukan waktunya aku bangun tidur. Kudengar isak tangisan dan gemuruh suara banyak orang.

Apa yang terjadi?
Oh, ternyata keadaan Naura mem­buruk, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, ternyata tahun ini tidak jadi berangkat jalan-jalan.

Tahun ini aku ditakdirkan untuk tinggal di rumah.

Jam satu siang, ayah datang dari rumah sakit.

“Engkau bisa menjenguknya sekarang, ayo cepat,” kata ayah kepadaku.

Menurut ibu, suara ayah mengisyaratkan kegun­dahan. Suaranya berubah. Mantel telah di tangan, lalu di mana supir?

Kami pun segera meluncur ke rumah sakit. Jalan yang kami telusuri bersama supir untuk jalan-jalan biasanya tampak pendek. Tetapi, hari ini tampak panjang, bahkan sangat panjang.

Di manakah gerangan keru­munan orang yang membuatku menoleh kanan-kiri?

Di sampingku ibuku berdoa untuk saudariku.“Dia anak yang saleh dan taat. Aku belum pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu,” kata ibuku lirih.

Memasuki pintu luar rumah sakit, kami menyaksikan pemandangan banyak pasien. Ada pasien yang mengerang- erang, ada korban kecelakaan, dan ada pula yang matanya cekung.

Engkau barangkali tidak bisa membedakan, apakah mereka penghuni dunia atau akhirat. Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Segera kami menelusuri anak tangga.

Ternyata, saudariku dirawat di ruang ICU.Seorang perawat menenangkan ibuku. Ia bilang keadaan saudariku membaik setelah sempat pingsan.

Di rumah sakit itu tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan pasien lebih dari satu orang, apalagi ini ruang ICU. Di tengah kerumunan para dokter, melalui jendela kecil kulihat mata saudariku, Naura, melihatku.

Adapun ibuku berdiri di sisinya. Dua menit kemudian, ibuku keluar karena tidak sanggup membendung air matanya.

Mereka mengizinkanku masuk, asal tidak terlalu banyak berbicara dengan pasien. Dua menit sudah cukup.“Apa kabar, Naura?” sapaku.“Sore kemarin aku baik-baik saja.”“Apa yang terjadi padamu?Setelah memagang tanganku, saudariku bilang,

“Sekarang, alhamdulillah aku baik-baik saja.”“Alhamdulillah, tapi mengapa tanganmu dingin?” kataku.Aku duduk di pinggiran dipan sembari memegangi betis Naura.“Apakah sebaiknya jauhkan yang kiri dari yang kanan, kasihan jika engkau sampai merasa terhimpit,” kataku.“Tidak, aku hanya memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada

Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. ” (Al-Qiyamah: 29-30)Hanna, doakanlah aku, karena mungkin sebentar lagi aku akan mengawali hari akhiratku. Perjalananku begitu jauh, tetapi bekal yang kubawa teramat sedikit.”Mendengar perkataan saudariku, air mataku tumpah tak terasa.
Aku menangis, tak peduli sedang berada di mana. Aku terus menangis. Ayah kelihatannya lebih mengkhawatirkanku daripada Naura. Memang, mereka tidak terbiasa melihatku menangis dan menyendiri di kamar seiring terbenamnya mentari di hari berkabut itu.

Rumahku hening mencekam.Anak perempuan bibiku masuk.

Peristiwa begitu cepat terjadi. Orang-orang pun berdatangan. Suara menggaduh. Satu yang kutahu; Naura telah tiada. Naura meninggal dunia.

Aku hampir tidak bisa membedakan siapa saja yang datang, juga tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Ya Allah, di manakah daku? Apa yang tengah terjadi?

Aku tak berdaya, bahkan untuk menangis sekalipun.

Beberapa saat kemudian, mereka memberitahuku bahwa ayah membawaku untuk mengucapkan perpisahan pada saudariku. Selain itu, mereka bilang aku menciumnya.

Tidak ada yang kuingat selain satu hal, yaitu ketika aku melihatnya pucat pasi di ranjang kematian sempat membacakan ayat Al-Qur’an, ‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).’

Aku mulai menyadari sebuah hakikat;‘Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihaIau.’ (AI-Qiyamah: 29-30)Tanpa sadar, malam itu aku menengok mushalla saudariku. Saat itu aku teringat dengan siapa aku berbagi kasih sayang ibu.

Aku terkenang pada orang yang turut menanggung kesedihanku. Aku teringat pada sosok yang turut menghalau dukaku. Selain itu, aku juga teringat pada orang yang memohonkan hidayah Tuhan, dan yang menumpahkan air mata sepanjang malam saat meng­ajakku bicara tentang kematian dan hari penghitungan amal..

Ini malam pertama ia berada dalam kuburnya. Ya Al­lah, kasihanilah ia, dan sinarilah kuburnya. Ini mushafnya, ini sajadahnya, ini … dan ini … Bahkan, ini gaun bermotif bunga yang pernah diceritakan kepadaku,

‘Gaun ini akan kusimpan buat hari pernikahanku.’

Jika teringat pada semua itu, aku tak kuasa membendung air mata pe­nyesalan pada hari-hariku yang sia-sia. Aku terus menangis dan berdoa semoga Allah mengasihiku, menerima taubatku, dan memaafkanku.

Aku juga berdoa semoga Allah meneguhkannya di kuburnya seperti yang sering ia mohon pada-Nya.Entah mengapa, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika yang meninggal dunia itu aku? Ke mana arah perjalananku? Karena rasa takut yang menyelimutiku, aku sengaja tidak mencari jawaban. Aku hanya menangis sedu sedan.Allahu Akbar!

Suara adzan subuh berkumandang, kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku merasa damai dan tentram sembari mengulangi bacaan adzan. Kulipat bajuku, lalu berdiri melaksanakan shalat subuh.

Aku shalat seperti or­ang yang akan segera mati, sebagaimana shalat yang dilakukan saudariku sebelumnya.

Jika pagi aku tidak menunggu petang, dan jika petang aku tidak menunggu pagi. [Az-Zaman al-Qadim, hal.4]

Sumber: Kisah Orang Shaleh Dalam Mendidik Anak, Syaikh Ibrahim Mahmud, Pustaka al Kautsar

Seseorang akan meninggal dengan apa yg ia cintai

Seseorang Itu Diwafatkan di Atas Apa Yang Dicintainya

Salah seorang Syaikh menceritakan sebuah kisah yang mengharukan :Suatu saat aku mengisi kajian di sebuah masjid di kota fulan, datanglah imam masjid tersebut dan berkata : wahai Syaikh ! di kota ini, tepatnya 2 pekan yang lalu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan, aku balik bertanya : peristiwa apa yang terjadi ya akhi ?

Maka Imam Masjid tersebut mulai bercerita: kami mendengar ada seorang pemuda yang tertabrak kereta api saat melintas di rel kereta api maka aku langsung pergi ke tempat kejadian tersebut dan aku dapatkan pemuda tersebut dalam keadaan sangat kritis, ususnya berhamburan keluar dari perutnya dan tangan kirinya juga telah putus.

Maka aku berkata kepadanya : wahai anakku ! Ucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah. Lalu pemuda itu memandang kepadaku, aku pun mengulang kembali perkataanku, wahai anakku ucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah !

Maka pemuda tersebut berkata : laa ilaaha illa Allahu kemudian nafasnya terhenti dan meninggal, lalu aku berusaha mencari kartu identitsnya di salah satu kantong di bajunya untuk mengetahui nama dan alamatnya.Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah salib ditangannya, ternyata pemuda ini seorang nashrani, maka imam Masjid tadi berkata : kita akan pergi ke rumah pemuda tersebut untuk menyampaikan kisah ini kepada keluarganya, semoga bisa menjadi pelajaran bagi mereka.

Maka kami bersama dengan kaum muslimin yang lainnya, sekitar kurang lebih 2000 orang, berangkat menuju rumah keluarga pemuda tersebut untuk berta’ziah dan mengabarkan tentang keadaannya sebelum meninggal, ketika kami sampai di rumahnya, bapak pemuda tersebut berkata : sungguh anakku senang sekali mendengarkan Al-Qur’an dan berkehendak masuk Islam akan tetapi aku selalu melarangnya, maka kami pun bertakbir dan mengatakan : sungguh Allah telah memberikan taufiq kepadanya ketika melihat kejujurannya.Hikmah dari peristiwa ini adalah :Ketika seseorang jujur dengan Allah dan mengikhlaskan niat hanya kepada-Nya maka Allah akan memberikan taufiq sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicintainya.

Nabi kita yang mulia telah bersabda yang artinya : “barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan diwafatkan diatasnya”Wahai saudaraku !

Kembalilah kepada Allah dan bertanyalah kepada dirimu sendiri, amal perbuatan apa yang paling engkau cintai?

Apakah amal tersebut mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkanmu dari neraka atau malah sebaliknya, menjauhkan dirimu dari Allah dan mendekatkanmu kepada neraka?

Kita hanya bisa memohon kepada Allah husnul-khotimah, pungkasan yang terbaik bagi kehidupan kita di dunia sebelum di akherat.

By: Ust. Abu Sa’ad dan jgn lupa untuk diSHARE semoga kisah ini mengharukan teman dan saudara Anda juga…

Hakekat Shalat

Hakekat Sholat

"Dalam sebuah hadist nabi Muhamad SAW menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama kali diperhitungkan adalah sholat. Jika sholatnya baik, maka semua dianggap baik. Ini bagaimana?" seorang santri bertanya kepada Syech Siti Jenar.

"Hadist ini masih perlu ditafsirkan lagi. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sholat dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sholat yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan lainnya" Jawab Syech Siti Jenar.

"Sebaliknya hadist itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sholat tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang". lanjut  Syech Siti Jenar.

"Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang mengerjakan sholat?" seorang santri kembali bertanya kepada Syech Siti Jenar.

"Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan sholat. Jika selesai sholat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan sholat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sholat yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sholat yang dikerjakannya. Biasanya tipe orang seperti itu tipikal orang yang yang merugi karena terlalu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya". jawab Syech Siti Jenar.

"Banyak orang melakukan sholat tetapi tidak menyentuh kepada Yang disembah. Ini bagaimana?". tanya seorang santri.

"Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk sholatnya. Bibirnya sibuk komat-kamit memanjatkan dzikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sholat lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sholat itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat sholatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sholat lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah SWT, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah SWT, tetapi buru-buru meminta balasan, …sungguh aneh"
celoteh Syech Siti Jenar kepada santrinya.

Lelah

Lelah.

Meluruskan yang salah dalam Agama, mepertahankan yang benar. Kata orang itu melelahkan. Tapi Allah suka.

Menuntut ilmu itu lelah, pergi sana pergi sini. Ke sekolah, ke kampus ke pengajian. Belum lagi jika tempat pengajiannya jauh. Tapi jika ikhlas Allah akan suka.

Beribadah setiap waktu, berulang setiap hari tanpa henti agar Allah tak luput dari hati kita. Kata orang itu melelahkan. Tapi Allah suka.

Berdakwah sana sini, mengajak kebaikan, menuntun dan membimbing tanpa merasa lebih baik dari yang lain. Kata orang itu melelahkan. Tapi Allah suka.

Ingat ibumu? dia mengandungmu, melahirkanmu, dan mengurusmu. Itu sangat melelahkan tapi Allah suka.

Berangkat pagi pulang sore bahkan sampai malam demi mencari nafkah untuk keluarga. Itu sangat lelah tapi Allah suka.

Suami membimbing istrinya dan istrinya mengingatkan suaminya ketika salah, serta mendidik anak bersama itu memang tak mudah dan melelahkan tapi Allah suka.

Belum lagi yang hidupnya susah, buat makan susah, cari nafkah susah. Melelahkan memang, tapi jika tidak putus asa dari Rahmat-Nya, Allah akan suka.

Biarlah lelah, asal dijalan ALLAH