Senin, 25 Mei 2015
Bismillahirrohmanirrohim & Tafsir
Tafsir Lafazh Basmalah ( بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ )
INGIN SUKSESS ??? ... MULIAKAN ORANG TUAMU
Fitrah kejadian manusia tidak dapat menafikan peningkatan usia dari hari ke hari. Suka atau tidak, kita seharusnya menerima hakikat bahawa setiap yang muda akan menjadi tua apabila sampai masa yang di tetapkan oleh Allah SWT.
Namun, persoalannya bukan usia yang menjadi pertaruhan kita, tetapi amalan dan pengorbanan yang kita lakukan selama ini y
ang menjadi hasil yang harus dinilai setiap manusia lebih-lebih lagi mereka yang bergelar seorang anak.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Ada tiga jenis manusia yang terkena laknat Allah SWT iaitu: seorang yang membenci kedua-dua ibu bapanya, seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian selepas isteri itu diceraikan beliau menggantikannya sebagai suami dan seseorang yang berusaha supaya orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesama sendiri dengan hasutannya”. (Riwayat Ad Dailami)
Justeru, Islam mendidik umatnya supaya berbakti dan menghormati serta berbuat baik kepada orang tua. Dalam arti kata mentaati mereka, menjaga adab sopan semasa berhadapan dengan mereka, memelihara dan mencurahkan kasih sayang dengan tulus dan ikhlas, tidak sekali-kali mencoba menyakiti hati mereka, baik secara langsung ataupun tidak.
Rasulullah SAW berpesan dan mengingatkan bahawa orang yang tidak menghormati orang tua bukan golongan Muslim sebagaimana sabdanya yang bermaksud: “Bukanlah dari golongan kami, sesiapa yang tidak menghormati orang tua kami dan tidak pula mengasihi anak kecil kami.” (Riwayat Al-Tabrani).
Hari ini, banyak kasus kedurhakaan zaman moden yang dilakukan oleh generasi muda kepada warga tua. Ada di kalangan orang tua yang diabaikan, dibiarkan hidup melarat, tinggal di jalanan, mengemis dan berbagai penderitaan lainnya.
Malah, pernah terjadi anak membunuh orang tuanya sendiri disebabkan tamak kepada harta. Ramai golongan tua yang terlantarkan. Pelakuan seperti ini menandakan semakin banyaknya anak yang mengabaikan tanggungjawab dan penghormatan terhadap orang tua mereka.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Ada tiga jenis manusia yang terkena laknat Allah SWT iaitu: seorang yang membenci kedua-dua ibu bapanya, seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian selepas isteri itu diceraikan beliau menggantikannya sebagai suami dan seseorang yang berusaha supaya orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesama sendiri dengan hasutannya”. (Riwayat Ad Dailami)
Apalah gunanya anak berpangkat besar, berjabatan tinggi, memiliki harta banyak sedangkan perbuatan harian mereka penuh dengan dosa disebabkan derhaka kepada kedua-dua orang tuanya. Kita harus sedar bahawa amal soleh yang banyak tidak mencukupi untuk kita mengabaikan tanggungjawab menjaga orang tua.
Pastinya hati mereka hancur dan air mata sedih akan membasahi pipi bila mereka mengenang anak-anak yang dibelai dari kecil , tetapi apabila dewasa dan berjaya, mereka ditinggalkan dan diabaikan.
Ingatlah saudaraku, anak-anakku bahwa ketaatan kepada ibu bapa adalah pintu keredaan Allah SWT di dunia ini.
Budaya selamatan setelah hari kematian.
Dalam kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari
seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:
1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.” Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari
Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah sama secara makna.
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
1. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.
4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai:
1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari.
2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.
Bagi yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:
1. Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
2. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami
menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah.
1. Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan masihkan acara yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan sesat?
[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari
seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:
1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.” Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari
Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah sama secara makna.
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
1. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.
4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.
4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai:
1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari.
2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari.
2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.
Bagi yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:
1. Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
2. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
2. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami
menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah.
1. Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan masihkan acara yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan sesat?
[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248
[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248
Dalam kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah. Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.” Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa as-Suyuthi:Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah sama secara makna.
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
1. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai:1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari.2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.
Bagi yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:
1. Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.2. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut: كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah.
1. Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan masihkan acara yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan sesat?
[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248
http://majlisdakwah-alkautsar.blogspot.com/2014/03/budaya-selamatan-setelah-hari-kematian.html?utm_source=BP_recent
SEPUTAR BATU CINCIN
Dalam Hadits Shahih Muslim disebutkan :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ الْمِصْرِيُّ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا
38.62/3907. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Wahb Al Mishri; Telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab; Telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik ia berkata; Cincin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terbuat dari perak, sedangkan mata cincinnya terbuat dari batu Habasyi
Syarah Imam Nawawi : bahwa yg dimaksud dgn "Habasyi" para ulama menyebutkan yakni Batu Habsyi, yakni bermata cincin marjan atau akik.
Berikut ini beberapa permasalahan seputar hukum memakai cincin :
PERTAMA : Hukum memakai cincin.
Ibnu Umar radhiallahu 'anhu berkata :
اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فُصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ فَاتَّخَذَهُ النَّاسُ فَرَمَى بِهِ وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ أَوْ فِضَّةٍ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin dari emas, beliau menjadikan mata cincinnya bagian dalam ke arah telapak tangan, maka orang-orangpun memakai cincin. Lalu Nabi membuang cincin tersebut dan memakai cincin dari perak" (HR Al-Bukhari no 5865)
Ibnu Umar juga berkata :
اتخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم خاتما من ورق وكان في يده ثم كان بعد في يد أبي بكر ثم كان بعد في يد عمر ثم كان بعد في يد عثمان حتى وقع بعد في بئر أريس نقشه محمد رسول الله
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin dari perak, cincin tersebut berada di tangan Nabi, lalu setelah itu berpindah ke tangan Abu Bakar, setelah itu berpindah ke tangan Umar, setelah itu berpindah ke tangan Utsman, hingga akhirnya cincin tersebut jatuh di sumur Ariis. Cincin tersebut terpahatkan Muhammad Rasulullah" (HR Al-Bukhari no 5873)
Para ulama telah berselisih pendapat, apakah memakai cincin hukumnya sunnah ataukah hanya sekedar mubah (diperbolehkan)?. Sebagian ulama berpendapat bahwa memakai cincin hukumnya sunnah secara mutlak. Sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah bagi para raja dan sultan.
Pendapat yang hati lebih condong kepadanya adalah sunnahnya memakai cincin secara mutlak. Dalilnya adalah meskipun sebab Nabi memakai cincin adalah karena untuk menstempeli surat-surat yang akan beliau kirim kepada para pemimpin Romawi, Persia, dan lain-lain, akan tetapi dzohir dari hadits Ibnu Umar di atas bahwasanya para sahabat juga ikut memakai cincin karena mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal para sahabat bukanlah para sulton, dan mereka tidak membutuhkan cincin untuk stempel.
KEDUA : Ditangan yang mana dan jari yang mana memakai cincin?
Sebagian ulama berpendapat akan disunnahkan memakai cincin di tangan kiri, dan sebagian yang lain berpendapat di tangan kanan. Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan dibolehkan di kanan atau di kiri.
Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
Anas bin Malik berkata :
كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلىَ الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى
"Cincin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di sini –Anas mengisyaratkan ke jari kelingking dari tangan kirinya" (HR Muslim no 2095)
Anas juga berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya" (HR Muslim no 2094)
KETIGA : Diharamkan bagi lelaki memakai segala bentuk perhiasan yang terbuat dari emas
Telah jelas dalam hadist Ibnu Umar di atas bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membuang cincin emasnya, karena cincin emas haram dipakai oleh lelaki. Bahkan bukan hanya cincin, segala perhiasan yang terbuat dari emas dilarang dipakai oleh lelaki.
عن عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أنَّ النَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ حَرِيرًا فَجَعَلَهُ فِي يَمِينِهِ ، وَأَخَذَ ذَهَبًا فَجَعَلَهُ فِي شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : ( إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي)
"Dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil kain sutra lalu meletakkannya di tangan kanan beliau, dan mengambil emas lalu beliau letakan di tangan kiri beliau, lalu beliau berkata : "Kedua perkara ini haram bagi kaum lelaki dari umatku" (HR Abu Dawud no 4057, An-Nasaai no 5144, dan Ibnu Maajah no 3595, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Kisah Seorang Guru Dan Dua Orang Muridnya
Kisah Seorang Guru Dan Dua Orang Muridnya
Alkisah di sebuah pesantren di suatu negeri hidup seorang guru silat yang sangat bijak, dan sudah sangat tua. Ia mempunyai dua murid yang masing-masing memiliki tingkat ibadah, ketulusan, kejujuran, kesalehan, keseriusan, semangat, dan keuletan belajar silat yang sama. Untuk mewariskan pesantren dan perguruannya, ia harus memilih yang terbaik dari keduanya.
Pertandingan di antara mereka pun dilakukan. Namun, beberapa kali dilakukan pertandingan, musabaqah, adu kepandaian dan adu kekuatan selalu berakhir dengan seimbang. Mereka ternyata mampu menyerap ilmu yang sama dari sang guru. Selain itu, keduanya juga sering berlatih bersama-sama sehingga masing-masing sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Untuk mengetahui mana di antara mereka yang lebih baik dan lebih cerdik, gurutersebut terpaksa menggunakan cara lain.
Suatu tengah malam seusai shalat, guru tersebut memanggil kedua muridnya dan memberi mereka tugas,"Besok pagi ba'da subuh kalian pergilah ke hutan mencari ranting pohon. Siapa yang pulang dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang, dan berhak mewarisi pesantren dan perguruan ini" Sambil menarik napas panjang sang guru memperhatikan kedua muridnya yang sedang mendengarkan dengan serius kemudian ia melanjutkan, "Waktu yang tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore." Kemudian guru tersebut mengambil sesuatu dari bawah meja dan berkata,"Ini adalah dua bilah parang yang dapat kalian gunakan, ada pertanyaan?"
Karena merasa tugas yang diembankan kepada mereka mudah, mereka pun serempak menjawab,"Tidak.""Baiklah kalau begitu, sekarang, kalian cepatlah beristirahat dan besok bangun lebih pagi," Nasihat sang guru.
Mendapat tugas yang baru ini, di benak murid yang pertama langsung terbayang bahwa keesokan harinya ia harus bangun lebih awal, harus bekerja lebih keras dan lebih serius karena waktunya terbatas. Ia terlalu terfokus pada waktu, yakni harus berangkat jam5 tepat , tidak boleh kurang satu detik pun dan pulang jam 5 sore , tidak boleh lebih. Setelah yakin dengan waktunya, ia pun pergi tidur.
Dengan tugas yang sama, murid kedua lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya, dan ternyata parang tersebut adalah parang tua yang sudah tumpul.
Maka, ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat ia akan mencari batu asah untuk mengasah parangnya agar menjadi tajam dan siap digunakan. Dengan parang yang lebih tajam, hasil yang sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit, pikirnya.
Tantangan kedua yang terbayang di benaknya adalah bagaimana cara membawa ranting pohon lebih banyak secara efisien dan efektif ? Sementara temannya sudah tertidur lelap, ia bermunjat dan berdoa kepada Allah, meminta agar dimudahkan segala urusannya sambil memikirkan cara terbaik untuk membawa ranting dengan jumlah lebih banyak. Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan, ia memutuskanuntuk menyiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan sebelum berangkat keesokan harinya.
Dengan memikul ranting menggunakan tongkat pikulan. Paling tidak, ia bisa membawa dua ikat besar ranting-satu di depan dan satu lagi dibelakang , itu berarti dua kali lipat lebih banyak dibandingkan memanggulnya.Dengan perasaan puas, ia shalat malam lalu pergi tidur.
Keesokan harinya, murid pertama yang sudah berencana akan bekerja keras, bangun tepat waktu dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu, murid kedua masih asyik berdzikir dan membaca Al-Qur'an. Tepat jam enam pagi, murid kedua bergagas. Sesuai rencana, ia segera mencari batu asah dan mengasah parangnyasampai benar-benar tajam.Kemudian ia mencari tali dan tongkat pikulan. Setelahsemua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan pukultujuh lebih.
Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua dan memikulnya pulang. Sesampainya di pesantren, diserahkannya ranting-rantingtersebut kepada gurunya. Ia berhasil mendapat banyak ranting dan pulang lebih cepat.
Sementara itu, murid pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon.Dengan demikian ia juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk beristirahat karena kelelahan. Belum waktu yang ia gunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu yang dipanggul di pundaknya, jumlah yang bisa dibawanya juga terbatas.
Hikmah :
- Terkadang kita terbelenggu oleh kerutinan kerja sehari - hari, sehingga lupa " mengasah parang " yang berupa bermunajat dan meminta petunjuk kepada Allah, belajar , ikut pelatihan, training , mengadakan meeting, briefieng pagi dan lain - lain. Padahal kegiatan diatas yang menurut kita " buang waktu " tersebut justru merupakan sarana ampuh untuk meningkatkan dan mengembangkan Skill , Knowledge dan Attitude kita.
- Pelatihan , tafakur, dzikir, pengajian, training , meeting , briefieng , pengarahan atau belajar pada dasarnya adalah bertujuan untuk " memudahkan " pekerjaan kita sehari - hari. Bukankah mengasah parang selama 3 menit sangat tidak berarti saat kita harus menebang pohon selama 3 jam . . . . . . . . . . . .
- Oleh karenanya, minimal usahakanlah setiap pagi hari, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca al-Ma'tsurat, dan juga berpositif thinking... Di samping diwaktu-waktu tertentu galilah potensi diri dengan mengikuti training, membaca buku motivasi, mengikuti seminar, milis yang bermanfaat, dsb... Mudah-mudahan kita semua dimudahkan Allah untuk menggapai hari esok yang lebih baik.
Langganan:
Postingan (Atom)