Rabu, 20 Januari 2016

Air Hujan Adalah Obat

Berobat dengan Air Hujan

Benarkah minum hujan untuk obat?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam al-Quran, Allah menyebut hujan sebagai sesuatu yang diberkahi,

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

Kami turunkan dari langit air yang berkah (banyak manfaatnya) lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam. (QS. Qaf: 9)

Allah juga menyebut hujan sebagai rahmat,

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji (QS. as-Syura: 28)

Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang soleh masa silam, sangat gembira dengan turunnya hujan. Sehingga mereka mengambil berkah dengan air hujan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

“Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya, lalu beliau guyurkan badannya dengan hujan. Kamipun bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda melakukan demikian?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” (HR. Ahmad 12700, Muslim 2120, dan yang lainnya)

Al-Qurthubi mengatakan,

وهذا منه صلى الله عليه وسلم تبرك بالمطر ، واستشفاء به ؛ لأن الله تعالى قد سماه رحمة ، ومباركا ، وطهورا ، وجعله سبب الحياة ، ومبعدا عن العقوبة ، ويستفاد منه احترام المطر ، وترك الاستهانة به

Praktek dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bentuk tabarruk (ngalap berkah) dengan hujan. Dan menjadikannya sebagai obat. Karena Allah menyebut hujan dengan rahmat, mubarok (berkah), dan thahur (alat bersuci). Allah jadikan hujan sebagai sebab kehidupan dan tanda terhindar dari hukuman, yang memberi kesimpulan agar kita menghormati hujan dan tidak menghina hujan. (al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Shahih Muslim, 2/546).

Kemudian dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sengaja menghujankan dirinya ketika khutbah di masjid. Anas bin Malik menceritakan,

ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ

Kemudian beliau tidak turun dari mimbarnya hingga saya melihat air hujan menetes dari jenggot beliau. (HR. Bukhari 1033)

Ketika membawakan hadis ini, Imam Bukhari memberikan judul bab dalam kitab shahinya,

باب من تمطر في المطر حتى يتحادر على لحيته

Bab orang yang menghujankan diri hingga air menetes di jenggotnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menilai bahwa tindakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujankan diri beliau adalah suatu kesengajaan, dan bukan kebetulan. Karena andai beliau tidak sengaja, tentu beliau akan menyelesaikan khutbahnya ketika mendung kemudian berteduh. Namun beliau terus melanjutkan khutbahnya, ketika hujan turun, sampai membasahi jenggot beliau. (Simak Fathul Bari, 2/520).

Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka hujan-hujanan dalam rangka ngalap berkah.

Ibnu Abi Syaibah menyebutkan beberapa riwayat dari para sahabat, dan beliau memberikan judul bab,

مَنْ كَانَ يتمطّر فِي أوّلِ مطرةٍ

Orang yang hujan-hujanan ketika pertama kali turun hujan.

Selanjutnya Ibnu Abi Syaibah menyebutkan beberapa riwayat berikut,

عَن بُنَانَةَ ، أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ يَتَمَطَّرُ فِي أَوَّلِ مَطْرَةٍ

Dari Bunanah, bahwa Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu hujan-hujanan di awal turunnya hujan.

عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَتَمَطَّرُ ، يُخْرِجُ ثِيَابَهُ حَتَّى يُخْرِجَ سَرْجَهُ فِي أَوَّلِ مَطْرَةٍ

Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma hujan-hujanan, beliau mengeluarkan pakaiannya, hingga pelananya di awal turunnya hujan.

عَنْ عَلِيٍّ ، أَنَّهُ كَانَ إذَا رأى الْمَطَرَ خَلَعَ ثِيَابَهُ وَجَلَسَ ، وَيَقُولُ : حدِيثُ عَهْدٍ بِالْعَرْشِ

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa apabila beliau melihat hujan, beliau melepas bajunya lalu duduk. Sambil mengatakan, “Baru saja datang dari Arsy.”

(Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 8/554).

Bolehkah Dijadikan Obat?

Seperti yang kita tahu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka mencari berkah dengan turunnya hujan. Kita tidak tahu, apakah mereka melakukan semacam itu dalam rangka pengobatan atau sebatas mencari berkah. Hanya saja, zahir riwayat di atas menunjukkan bahwa mereka tidak minum air hujan itu. Mereka hanya hujan-hujanan, mandi dengan air hujan atau berwudhu dengan air hujan.

Karena itu, menjadikan air hujan sebagai obat dengan cara diminum, ini butuh dalil atau bukti secara ilmiah.

Dalam fatwa Islam, terdapat pertanyaan tentang hukum menjadi air hujan sebagai obat. Keterangan dalam fatwa islam,

فمن حرص على التعرض للمطر والإصابة منه بالغسل أو الشرب تبركا به ، فلا بأس عليه ولا حرج .ولكن لا ينبغي نسبة الشفاء إلى هذا الماء إلا بدليل ، وإن كانت البركة الثابتة لهذا الماء قد تنفع في العلاج ، ولكن لا نجزم بوقوع العلاج والشفاء ما لم يرد نص شرعي خاص به ، ولا ينبغي الجزم بذلك للناس

Orang yang hujan-hujanan atau mandi hujan atau meminumnya dalam rangka mencari berkah, hukumnya boleh dan tidak berdosa. Hanya saja, selayaknya tidak meyakini air ini sebaai obat, kecuali berdasarkan bukti. Meskipun keberkahan air hujan, bisa jadi bermanfaat untuk pengobatan. Akan tetapi, kita tidak menegaskan adanya unsur obat, selama tidak ada dalil yang secara khusus menyebutkan hal ini. Dan tidak selayaknya menegaskan hal itu kepada masyarakat. (Fatawa Islam, 164231)

Demikian…

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Suami Zalim Pada Istri

Suami Zalim Kepada Istri

Pertanyaan:

Syaikh Shalih Fauzan ditanya:

Seorang suami telah berbuat semena-mena dan membiarkan istrinya selama dua tahun dalam keadaan tanpa ditalak dan dipisahkan dari anak-anaknya serta tidak diberi nafkah. Sementara kondisi kehidupannya sangat memprihatinkan karena tidak ada yang memberi nafkah sama sekali kecuali hanya berharap kepada Allah Ta’ala. Bagaimana sikap suami seperti ini yang berbuat semena-mena dan menelantarkan keluarganya?

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa istri mempunyai hak atas suaminya yang harus ditunaikan, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”(QS. An-Nisa: 19).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atasmu.”

Dan firman Allah Ta’ala

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228).

Dan Allah juga berfirman,

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ

“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229).

Banyak sekali dalil-dalil yang memerintahkan kepada suami agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam memenuhi hak istri dan tidak boleh mengurangi hak-haknya kecuali yang dibenarkan menurut syariat seperti pada waktu nusyuz.

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Cerai / Talaq Saat Haid

Cerai saat Wanita Haid

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum.

Bagaimanakah hukum cerai ketika haid? Mohon dijelaskan serinci-rincinya..!!!

Tkhn’s

Dari: Hamba Allah

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Pertama, talak ada 2:

Ditinjau dari keadaan istri ketika suami menjatuhkan talak, maka talak dibagi menjadi dua:

Talak sunah: talak yang dijatuhkan di masa suci, sebelum digauli.

Talak bid’ah: talak yang dijatuhkan di masa haid atau nifas atau di masa suci setelah digauli.

Dasar pembagian ini adalah firman Allah,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Wahai nabi, apabila kalian hendak mentalak isteri-isteri kalian maka hendaklah kalian  ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu…” (QS. At-Talak: 1)

Makna ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis. Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa beliau pernah menceraikan istrinya ketika haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai ayah yang bertanggung jawab, Umar bin Khatab-pun menanyakan kejadian ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah disampaikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Perintahkan dia untuk merujuk istrinya, kemudian tahan sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Selanjutnya jika dia mau, dia bisa pertahankan dan jika mau dia bisa menceraikannya sebelum disetubuhi. Itulah iddah yang Allah perintahkan agar talak wanita dijatuhkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada ayat di atas, Allah perintahkah para suami yang hendak mentalak istrinya, agar talak ini dijatuhkan di saat istri bisa menentukan masa iddah dengan baik setelah talak. Dan ini hanya bisa dilakukan, jika talak itu dijatuhkan di masa suci sebelum digauli. Ketika talak dijatuhkan dalam kondisi ini, maka sang istri bisa menjalani masa iddah dengan menghitung 3 kali haid setelah itu. Itulah penentuan waktu cerai yang sesuai perintah Allah, sebagaimana yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena cerai ini tata caranya sesuai perintah Allah maka talak ini dinamakan talak sunah.

Kebalikan dari hal ini adalah ketika cerai dijatuhkan pada saat haid, atau nifas, atau di masa suci setelah digauli. Alasannya:

Cerai dijatuhkan pada masa haid atau nifas, akan memperlama masa iddah sang istri. Karena dia baru bisa menghitung masa iddah dengan datangnya haid, setelah dia suci terlebih dahulu.

Sementara talak yang dijatuhkan di masa suci namun sudah disetubuhi maka keadaan sang istri tidak diketahui apakah dia hamil ataukah tidak. Sehingga dia tidak tahu perhitungan iddahnya, apakah nunggu sampai melahirkan atau dengan datangnya haid.

Dengan demikian, talak ini bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bertentangan dengan perintah syariat maka talak ini dihukumi talak bid’ah (simak Fiqih Sunah, Sayid Sabiq, 2:263 – 264)

Kedua, ulama sepakat bahwa talak bid’ah hukumnya haram.

Artinya, suami yang menceraikan istrinya pada saat haid atau nifas, atau di masa suci setelah berhubungan, dia berdosa, karena melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya.

Sayyid Sabiq menyatakan,

وأجمع العلماء على أن الطلاق البدعي حرام، وأن فاعله آثم.

“Ulama sepakat bahwa talak bid’ah hukumnya hakam, dan pelakunya berdosa.” (Fiqih Sunah, 2:265).

Hal yang sama juga dinyatakan dalam Mausu’ah Fiqhiyah Muyasarah,

وأمّا طلاقها في حال الحيض فهو محرّم بالكتاب والسنّة والإِجماع، وليس في تحريمه نزاع

“Mentalak istri ketika haid hukumnya haram, berdasarkan dalil Alquran, sunah dan sepakat ulama. Tidak ada perselisihan tentang haramnya cerai ketika haid (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah, 5:379)

Ketiga, antara sah dan tidak sah

Pada bagian kedua, kita telah menegaskan bahwa talak bid’ah hukumnya haram dan sang suami berdosa. Namun kajian ini berbeda kajian tentang keabsahan talak bid’ah. Tentang status talak bid’ah, ulama berbeda pendapat apakah statusnya sah ataukah tidak.

a. Pendapat pertama menyatakan, talak bid’ah hukumnya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini dipilih oleh al-Bukhari, al-Baihaqi, an-Nawawi dan yang lainnya.

b. Pendapat kedua menyatakan, talak bid’ah statusnya tidak. Ini pendapat yang dipilih Said bin Musayib, Abdullah bin Ma’mar, Thawus, Ibnu Ulaiyah, Ibn Hazm, Syaikhul Islam, dan Ibnul Qoyim (Fiqih Sunah, 2:266).

Ulama yang menilai talak bid’ah statusnya tidak sah, beralasan bahwa talak ini bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga talak ini tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada ketetapannya dari kami maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Faqihuz Zaman, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan,

Mayoritas ulama berpendapat, talak bid’ah statusnya sah, dan dihitung sebagai talak satu. Namun suami diperintahkan untuk merujuk istrinya dan menahannya sampai suci dari haid, kemudian haid lagi yang kedua, sampai suci. Selanjutnya terserah suami, apakah dia mau menceraikan ataukah mentalaknya. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Namun pendapat yang kuat, pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, bahwa cerai ketika haid statusnya tidak sah. Karena talak ini bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-Nya. Padahal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada ketetapannya dari kami maka amal itu tertolak.”(Fatawa Islamiyah, 3:268).

Keempat, bagaimana jika suami tidak tahu bahwa istrinya sedang haid

Ada dua hal yang perlu dibedakan antara hukum dan konsekuensi dosa pelanggaran hukum. Hukum tetap berlaku, meskipun orang yang melanggar tidak mengetahuinya. Sementara konsekuensi dosa karena melanggar hukum bisa berlaku, jika orang yang melanggar itu mengetahui hukumnya.

Dalam kasus ini, hukum yang berlaku, cerai ketika haid statusnya haram, suami berdosa dan tidak sah. Kemudian jika suami tidak tahu, – baik tidak tahu sang istri sedang haid atau tidak tahu bahwa cerai ketika haid statusnya haram –, maka status perceraiannya tetap haram, dan cerainya tidak sah, hanya saja sang suami tidak berdosa, karena dia tidak tahu.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

وأن المرأة لا زالت في عصمة زوجها ، ولا عبرة في علم الرجل في تطليقه لها أنها طاهرة أو غير طاهرة ، نعم ، لا عبرة بعلمه ، لكن إن كان يعلم صار عليه الإثم ، وعدم الوقوع ، وإن كان لا يعلم فإنه ينتفي وقوع الطلاق ، ولا إثم على الزوج

Hukum asal seorang istri, mereka tetap berada di bawah ikatan suaminya. Talak ketika haid tidak tergantung pada pengetahuan suami ketika mentalak istrinya, apakah dia sedang suci ataukah tidak suci. Namun jika suami mengetahui maka dia berdosa, dan cerainya tidak sah. Sementara jika dia tidak tahu, talaknya tidak sah, dan suami tidak berdosa (Fatawa Islamiyah, 3:268).

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

KHUSUS 18++

Menjilati Vagina saat Berhubungan Suami Istri

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Dok.

Saya mau tanya berbahayakah menjilati vagina bagi suami ataupun istri? Dan apa akibatnya?

Terima kasih.

Dari: Fulanah

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh.

Terima kasih atas pertanyaan yang diberikan kepada kami.

Menjilati vagina dapat dikategorikan sebagai bentuk seks oral terhadap wanita, yang didunia medis dikenal dengan cunnilingus. Meskipun perilaku ini menurut sebagian pakar berisiko lebih rendah dibandingkan seks oral pada pria, namun tetap merupakan bentuk praktek seksual yang tidak aman. Diantara risiko yang bisa timbul akibat cunnilingus adalah:

– Penyebaran virus HPV dari wanita ke pria. Virus HPV atau Human Papillomavirus jenis tertentu dapat menyebabkan kanker di daerah mulut dan faring.

– Penyebaran virus herpes, maupun mikroba penyebab penyakit menular seksual lainnya dari wanita ke pria dan sebaliknya (jika pria memiliki virus herpes di daerah mulut, sebagaimana yang banyak terjadi pada infeksi herpes virus tipe 1).

– Meningkatkan risiko kekambuhan infeksi jamur di daerah vagina.

Disamping itu, cunnilingus dapat menimbulkan dampak psikologis bagi pasangan suami istri yang salah satunya tidak menyenangi praktek ini, sehingga dapat merenggangkan hubungan.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Dijawab oleh dr. Hafid N (Pengasuh Rubrik Kesehatan)

Jika ADA wanita TIDAK dinafkahi selama berbulan-bulan, bahkan sdh Setahun Lebih, apakah Berarti sdh cerai?

Jika ADA wanita TIDAK dinafkahi selama berbulan-bulan, bahkan sdh Setahun Lebih, apakah Berarti sdh cerai?

Suami kerja di rantau, Tak Pernah kirim kabar maupun nafkah ..

Jawab

Bismillah adalah shalatu itu salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du,

Kita akan perhatikan beberapa Catatan berikut,

Pertama, Ketika Manusia Menikah, masing-masing Pasangan, memiliki hak Dan Kewajiban. Memberi nafkah Menjadi Kewajiban Dan tanggung jawab Terbesar suami. SEMENTARA Melayani suami Adalah tanggung jawab Terbesar Bagi Istri.

Allah berfirman,

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم

"Lelaki Adalah Pemimpin Bagi wanita, Kelebihan disebabkan Yang Allah berikan Kepada sebagian Manusia (lelaki) di differences sebagian yang lain (wanita) Dan disebabkan mereka Memberi nafkan DENGAN hartanya ...." (QS an-Nisa ': 34)

Allah sebut suami SEBAGAI Pemimpin, agar Istri Dan ANGGOTA Keluarga tunduk Dan taat kepadanya, selama Bukan Untuk maksiat.

Di ayat berbaring, Allah berfirman,

وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف

"Merupakan Kewajiban bapak (orangutan Yang get Anak) untuk review memberikan nafkah Kepada istrinya Dan memberinya DENGAN Cara pakaian Yang Wajar ...." (QS Al-Baqarah: 233)

Kedua, ketika shalat Satu ATAU bahkan kedua orangutan Dari Pasangan ITU TIDAK menjalankan kewajibannya, BUKAN Berarti nikah Menjadi Batal. Nikah Tetap Sah Dan TIDAK Otomatis cerai, sekalipun suami Meninggalkan tanggung jawabnya ATAU Istri TIDAK menjalankan kewajibannya.

KARENA Pelanggaran tanggung jawab Dan Kewajiban Yang dilakukan Diposkan kedua Pasangan hearts Satu Keluarga, Bukan penyebab perceraian.

Oleh KARENA ITU, ketika suami Yang TIDAK Memberi nafkah, pernikahan TIDAK Otomatis cerai, sebagaimana ketika Istri TIDAK mau taat Kepada suami, pernikahan TIDAK Langsung cerai.

Kita Bisa SIMAK ayat berikut,

واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا

Para Istri yang Kalian khawatirkan nusyuz melakukan, Maka nasehatilah mereka Dan pisahkanlah mereka di Tempat Tidur mereka, Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu Mencari-cari jalan untuk review menyusahkannya .. (. QS An-Nisa: 34).

Dalam ayat ini Label Allah menjelaskan, ketika Terjadi Pelanggaran Kewajiban Yang Diposkan dilakukan istri, DENGAN melakukan nusyuz, Allah TIDAK menghukumi pernikahan mereka Batal. Namun Allah berikan Solusi dan Saran, untuk review Keluarga Perbaikan. Jika kedurhakaan Yang dilakukan Istri membatalkan pernikahan, tentu TIDAK Perlu Lagi Solusi semacam inisial. KARENA mereka Sudah bercerai.

Demikian pula ketika suami Yang melakukan nusyuz. Suami menampakkan rasa Bosan Kepada istrinya, sehingga malas untuk review Tinggal Bersama istrinya. Dan bahkan TIDAK dinafkahi. Dalam Kasus Suami, Istri berhak mengajukan sulh (berdamai), with melepaskan sebagian haknya Yang Menjadi Kewajiban suaminya, hearts Rangka mempertahankan Keluarga.

Artinya, posisi suami Yang melanggar Kewajiban, TIDAK menyebabkan kaluarga Otomatis cerai. Allah berfirman,

وإن امرأة خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أن يصلحا بينهما صلحا والصلح خير

jika seorang wanita khawatir akan nusyuz ATAU SIKAP TIDAK Acuh Dari suaminya, Maka TIDAK MENGAPA Bagi keduanya mengadakan Perdamaian Yang Dering-benarnya, dan Perdamaian ITU LEBIH bai k (. QS An-Nisa: 128).

Ketiga, bahwa perceraian sifatnya Resmi. Artinya Harus ADA pernyataan Dari pihak berwenang Yang. Bisa suami Yang menjatuhkannya ATAU Pengadilan. Selama kedua Pasangan beragama Yang sama.

Imam Ibnu Baz menjelaskan, Kapan seorang wanita Bisa dianggap Telah ditalak,

تعتبر المرأة طالقا إذا أوقع زوجها عليها الطلاق, وهو عاقل مختار ليس به مانع من موانع الطلاق كالجنون والسكر, ونحو ذلك. وكانت المرأة طاهرة طهرا لم يجامعها فيه أو حاملا أو آيسة

Seorang wanita berstatus ditalak apabila,

Suami menjatuhkan talak kepadanya
Ketika talak menjatuhkan, suami sehat akal, TIDAK Dipaksa, TIDAK gila, TIDAK Mabuk, ATAU semacamnya
Ketika talak menjatuhkan, istrinya sedang suci (TIDAK sedang haid) Dan Belum digauli, ATAU sedang hamil, ATAU Sudah menapause.
(Fatwa di-Talak Ibnu Baz, 1/35)

Termasuk JUGA, suami Pergi lama Tanpa Meninggalkan kabar. Jelas Yang inisial Pelanggaran Dan kedzaliman. TAPI Sah pernikahan Tetap.

Dalam SEBUAH Keterangan Yang diriwayatkan Baihaqi, dinyatakan,

كتب عمر إلى أمراء الأجناد في رجال غابوا عن نسائهم يأمرهم أن ينفقوا أو يطلقوا, فإن طلقوا بعثوا بنفقة ما مضى

Umar radhiyallahu 'anhu, mengirim surat Kepada para Pemimpin Pasukan, memerintahkan untuk review para suami Yang istrinya Meninggalkan, agar mereka memberikan nafkah ATAU mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka Harus mengirim jatah nafkah selama dia Tinggalkan dulu.

Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat Suami shahih Dari Umar bin Khatab. (HR Baihaqi Dan. Dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa ', 2158).

Keempat, ketika shalat Satu Dari kedua Pasangan TIDAK melaksanakan kewajibannya, baik KARENA kesengajaan ATAU KARENA keterbatasan, Maka pihak Yang didzalimi haknya, boleh pisah mengajukan.

Allah melarang suami Yang TIDAK bertanggung jawab Terhadap istrinya, untuk review istrinya mempertahankan, agar Bisa Semakin mendzliminya. Dia buat istrinya terkatung-katung, Punya suami TIDAK PERNAH tanggung jawab.

Allah berfirman,

ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه

"Janganlah kamu pertahankan (DENGAN rujuk) mereka untuk review Memberi kemudharatan, KARENA DENGAN demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka Sungguh besarbesaran Telah berbuat zalim Terhadap Dirinya Sendiri ". (QS al-Baqarah:. 231)

Allah menjelaskan ayat hearts Suami, suami Yang Telah menceraikan istrinya, Hingga mendekati habisnya masa iddah, Maka suami Punya 2 PILIHAN:

Dirujuk DENGAN Maksud baik, hearts Rangka Membangun Keluarga Yang sakinah
Dilepas Jika tidak menghendaki Lagi Bersama istrinya.
Demikian pula wanita, dia berhak untuk review gugat cerai, ketika suaminya TIDAK menjalankan kewajibannya. Sebagaimana suami TIDAK boleh istrinya menyusahkan, Maka Istri JUGA boleh membebaskan Dirinya Dari kesusahan Yang disebabkan kedzaliman suaminya.

Sayid Sabiq mengatakan,

وإن على القاضي أن يزيل هذا الضرر. وإذا كان من المقرر أن يفرق القاضي من أجل الغيب بالزوج فإن عدم الانفاق يعد أشد إيذاءا للزوجة وظلما لها من وجود عيب بالزوج, فكان التفريق لعدم الانفاق أولى

Wajib Bagi hakim (KUA) untuk review menghilangkan Sesuatu Yang membahayakan Istri. Ketika dipahami bahwa hakim boleh memisahkan suami Istri KARENA suami lama Menghilang, SEMENTARA TIDAK Memberi nafkah termasuk menyakiti Dan mendzlimi istri, LEBIH menyakitkan Dari PADA sebatas adanya aib PADA suami, Maka wewenang hakim untuk review memisahkan suami Istri KARENA TIDAK Memberi nafkah, Reseller KUAT. (Fiqh Sunah, 2/288).

Meskipun Solusi pisah sebisa mungkin dijadikan pemecahan terakhir di, selama Masih memungkinkan diperbaiki.

Demikian,  Allahu a'lam.

Dijawab Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)