Jumat, 12 Juni 2015

DOA AGAR DIMUDAHKAN MENDAPATKAN JODOH


1.Doa mendapatkan jodoh



“Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiena imaamaa.”
Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh [2] kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.” (QS 25:74)
Do’a agar dimudahkan dalam mendapatkan jodoh :
“ROBBI LAA TADZARNI FARDAN WA ANTA KHOIRUL WAARITSIN”.
Artinya:
“Ya Allah janganlah engkau tinggalkan aku seorang diri dan engkau sebaik2nya dzat yang mewarisi”.
3. Doa bagi laki2 yang berharap jodoh :
“ROBBI HABLII MILLADUNKA ZAUJATAN THOYYIBAH AKHTUBUHA WA ATAZAWWAJ BIHA WATAKUNA SHOOHIBATAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH”.
Artinya:
“Ya Robb, berikanlah kepadaku istri yang terbaik dari sisi-Mu, istri yang aku lamar dan nikahi dan istri yang menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat”.
4. Doa bagi wanita yang berharap jodoh :
“ROBBI HABLII MILLADUNKA ZAUJAN THOYYIBAN WAYAKUUNA SHOOHIBAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH”.
Artinya:
“Ya Robb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat”.
5. ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ‘ALAYYA MIN KHOZAA INI ROHMATIKA YAA ARHAMAR-ROOHIMIIN”.
Artinya:
“Ya Allah bukakanlah bagiku hikmah-Mu dan limpahkanlah padaku keberkahan-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang”.
6. “ROBBI INNII LIMAA ANZALTA ILAYYA MIN KHOIRIN FAQIIR”.
Artinya:
Ya Robb, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (Q.S. 28 : 24)
7. “HASBUNALLOOH WANI’MAL WAKIIL NI’MAL MAULA WANI’MAN NASHIIR”.
Artinya:
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung, Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”. (Q.S. 3 : 173 & 8 : 40).
8. “ROBBANAA HABLANAA MIN AZWAAJINAA WADZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUN WAJ ‘ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA”.
Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri2 kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa”. (Q.S. 25 : 74)

SITI FATIMAH DAN KALUNG

Majalah Hidayah edisi 81 mei 2008





Suatu hari, datang seorang laki-laki tua mengenakan pakaian usang, dan jalannya sempoyangan menemui rasulullah. “Wahai nabi, aku lapar, telanjang (berpakaian usang) dan miskin. Berilah aku pakaian, sandang dan bantuan!”

Saat itu, Rasul dilanda kesusahan. “Sungguh aku ini tak memiliki apa-apa yang dapat kuberikan padamu. Pergilah ke rumah perempuan yang mendahulukan Allah daripada dirinya, yakni Fatimah…”

Bilal kemudian mengantar orang tua itu ke rumah Fatimah. Di hadapan Fatimah, orang tua itu berkata “Wahai putri Muhammad…, aku lapar dan butuh pakaian. Tolonglah aku, semoga Allah memberkatimu!”

Ketika itu, Fatimah juga dilanda kesusahan, tetapi ketika melihat kondisi orang tua itu ia tidak tega. Ia memberi kulit biri-biri yang biasa dipakai alas tidur Hasan dan Husain, “Ambillah ini, semoga Allah menggantinya bagimu dengan yang lebih baik lewat menjualnya.”

“Wahai Fatimah, aku mengeluh lapar kepadamu dan engkau memberiku kulit biri-biri! Bagaimana bisa aku makan dengan ini?”

Fatimah seperti diiris sembilu. Lantas, ia mengulurkan kalungnya. Orang itu mengambil kalung tersebut, lalu kembali menemui nabi. “Wahai nabi, Fatimah memberiku kalung dan memintaku untuk menjualnya…”

Rasul tersenyum, “Sungguh, Allah akan memberimu jalan keluar, karena Fatimah memberimu kalung ini.”

Ammar bin Yasir yang ada dekat nabi, meminta izin nabi untuk membeli kalung itu. Rasulullah memberi izin dan Ammar menanyakan harganya.

“Sepiring roti dan daging, sehelai baju Yaman untuk menutupi auratku dan mendirikan shalat di hadapan Allah, uang 1 dinar agar aku bisa pulang!”

Ammar yang baru menjual harta rampasan --perang Khaibar-- ternyata menawar lebih, “Aku memberimu 20 dinar, 200 dirham, sehelai baju Yaman, kuda untuk membawamu pulang dan kebutuhanmu akan roti dan daging.”

Setelah Ammar mengajak orang itu untuk memenuhi janjinya, orang itu menemui nabi lagi, “Aku kini jadi kaya. Semoga ayah dan ibuku jadi penebus bagi Anda.”

Nabi menimpali, “Balaslah Fatimah atas kemurahanhatinya!’

Orangtua itu memanjatkan doa. Setelah itu, ia pun pamit pulang.

Ammar membeli kalung itu, rupanya punya maksud lain. Ia membungkus kalung itu kemudian meminta budaknya (Shahm) mengantarkannya pada nabi, “Berikan kalung ini pada rasulullah. Katakan pada beliau, aku menyerahkanmu kepadanya.”

Shahm menemui nabi dan menyampaikan amanat dari Ammar tapi rasul justru minta Shahm untuk menemui Fatimah, “Bawalah kalung ini pada Fatimah dan aku serahkan kamu pada Fatimah!”

Shahm menyampaikan pesan nabi. Fatimah menerima kalung itu, seraya mengatakan bahwa Shahm telah merdeka. Seketika itu, Shahm tertawa. Karena tak tahu di balik tawa Shahm itu, maka Fatimah pun bertanya kepadanya.

“Aku tertawa karena memikirkan kebajikan kalung ini. Ia memberi makan orang lapar, memberi pakaian orang telanjang, melapangkan orang miskin, memberbaskan budak, dan kembali kepada pemilik aslinya.”

Itulah kisah sebuah kalung di balik kemurahan hati Fatimah. Apakah kita semua dapat meneladani perilaku Fatimah di kala susah tetapi ringan tangan merelakan apa yang dimiliki kepada orang lain yang membutuhkan

Dari Kubur Keluar Ular Besar

tulisan ini dimuat di majalah hidayah, edisi 76 november 2007


Di kampung Mangga, ia dikenal orang kaya. Maklum, di tempatnya tinggal itu, lelaki paruh baya yang bernama Majnun (tentu bukan nama sebenarnya, 50 tahun) ini adalah petani sukses. Sawah dan ladang Majnun luas membentang. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pedagang buah terkenal dan berhasil. Tak ayal, jika warga menyebut-nyebut lelaki yang memiliki lima anak itu tak kekurangan materi lantaran bergelimang dengan harta.

Tapi, kekayaan yang dimiliki Majnun itu tidak membuat dia menjadi orang yang ingat kebesaran Allah dengan rezeki yang telah diberikan padanya sehingga dia jadi dermawan atau ringan tangan terhadap orang miskin, paling tidak orang yang lagi dilanda kesusahan. Justru, dia selalu menggenggam jemari tangannya dengan erat dan bahkan congkak terhadap orang miskin.

Mungkin, tidak jadi soal jika Majnun tidak mau membantu orang yang butuh namun masih dengan cara baik dan rendah hati. Tapi, sudah tak mau mengulurkan tangan, Majnun masih berbohong, dan merasa tidak sebagai saudara.

Orang Kikir
Suatu hari, pernah ada sepupu Majnun dari jauh yang datang ke rumahnya untuk meminjam uang. Saudara Majnun itu lagi ditimpa musibah, lantaran anaknya sakit sehingga butuh biaya tak sedikit untuk berobat. Sepupu Majnun sebenarnya sadar, kalau tipis harapan jika harus meminjam uang kepada Majnun. Tetapi, jalan untuk mendapatkan uang sudah tidak ada lagi. Dia sudah bersusah payah minjam uang ke beberapa tetangga di kampung tempat tinggalnya, tetapi sayang tidak ada satu orang pun yang bisa membantu. Maka, tak punya pilihan lain, kecuali datang ke rumah Majnun. Dalam hati, ia membatin siapa tahu dengan keadaan anak sakit, Majnun tersentuh hati dan luluh sehingga tidak keberatan meminjamkan uang.

Sayang, harapan sepupu Majnun ternyata bertepuk sebelah tangan. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, dan tiba di rumah Majnun bukan sapaan akrab dan uluran tangan keluarga yang ia dapat melainkan luapan wajah cemberut di wajah Majnun yang serupa singa. Tentu saudara Majnun tidak mungkin pulang jika tanpa usaha. Dia sudah jauh terlanjur sampai di rumah Majnun, maka akhirnya memberanikan membuka mulut...

"Kedatangan saya ke sini sebenarnya selain silaturrahmi juga ada masalah penting yang ingin saya bicarakan!”, ucap sepupu Majnun.

“Masalah apa lagi?” tanya Majnun.

“Saya ingin minta tolong!” ucap sepupu Majnun gagap. “Saya butuh uang untuk mengobati anak saya yang sakit…"

Saat mendengar meminjam uang, seketika itu Majnun mendidih. Jantungnya berdegup kencang, mukanya merah serupa batu bata yang terbakar bara. Majnun berkacak pinggang, "Kau ini tiba ke sini hanya minta tolong! Saya tak punya uang. Hari ini dagangan buah tak laku, hasil panen pun belum tiba. Lagi pula, saya ini memang apa-mu?” ketus Majnun.

Sepupu Majnun itu, terdiam. Kedua kakinya lemas. Langit-langit seakan gelap. Mulutnya terkunci dengan ucapan Majnun yang ketus itu. Belum lagi, wajah cemberut Majnun yang dilihat seram menakutkan. Maka, tak ada pilihan lain untuk tinggal lebih lama. Dia segera pamit pulang, dengan tanpa membawa uang.

Dia sebenarnya tidak heran dengan kelakuan Majnun itu, karena penolakan Majnun terhadapnya kali ini bukanlah pertama yang dia alami. Sebelumnya pernah ia meminjam uang dan selalu dijawab dengan kata “tidak punya uang”.

Tetapi kali ini saudara Majnun terpaksa, tapi, apa daya orang yang selama ini dianggap sebagai saudara ternyata tak lebih dari orang asing yang tak saling kenal.

Watak Majnun itu, sebenarnya sudah jadi rahasia umum warga Semangka. Warga tahu, Majnun memang kaya. Tapi menurut warga, kekayaan yang dimiliki Majnun itu justru membuat Majnun sombong, congkak dan enggan bergaul dengan warga yang mayoritas berstatus rendah. Selain kikir, Majnun dikenal warga suka mendatangi sebuah pohon besar yang ada di ujung kampung. Tak jarang, Majnun kepergok oleh salah seorang warga yang mencari rumput.

Anto (36 tahun), warga yang mencari rumput itu pun sering melihat Majnun bersila di bawah pohon, melakukan ritual dengan menyajikan sesajen, membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Di akhir prosesi, Majnun kemudian bersujud di hadapan pohon besar tersebut dengan seksama.

Kebiasaan buruk itu, sudah sering dilakukan Majnun tatkala hari menjelang Maghrib --tepatnya Jum'at sore. Maklum jika Anto tahu. Dia seorang warga desa yang sehari-hari bekerja di sawah milik Majnun sebagai buruh harian. Tak salah pula Anto sering memergoki Majnun melakukan ritual aneh itu. Anto mengatakan aneh, sebab suatu hari pernah melihat Majnun bermesraan dengan seekor ular besar di bawah pohon.

Memang, awalnya ritual aneh itu hanya diketahui Anto. Tetapi, lama-lama warga tahu juga. Tapi warga hanya diam tak pernah mengusik kebiasaan Majnun yang dianggap menyimpang. Orang-orang kampung Semangka hanya berbisik-bisik tatkala di warung kopi lantas menyebut-nyebut Majnun itu telah mengambil pesugihan.

Sombong
Dengan memiliki kekayaan yang berlimpah dan tidak ada orang di kampung Semangka yang mampu menandinginya, Majnun pun jadi sombong termasuk kalau ada orang yang datang ke rumahnya. Padahal kedatangan orang ke rumahnya itu belum tentu mau meminjam uang. Bisa jadi, orang yang datang ke rumah Majnun itu ingin memberikan informasi, atau apa lagi…

Tapi karena Majnun selalu berprasangka negatif kepada setiap orang yang datang ke rumahnya, akhirnya orang kampung tak berani datang ke rumah Majnun jika memang tidak perlu. Rumah Majnun jadi angker, angkuh dan menyeramkan. Tidak jarang, pengemis atau anak yatim yang datang ke rumah Majnun pun untuk minta sedekah, akhirnya harus menantap rumah megah Majnun itu dengan tatapan yang nyaris tidak percaya jika pemiliknya ternyata tak bersahabat.

Selain dikenal angkuh dan sombong, Majnun juga nyaris tak pernah hadir jika ada warga atau tetangga yang lagi punya hajat. Maklum jika satu dua kali tak hadir, tetapi seringkali undangan warga itu tidak pernah dipenuhi Majnun dengan seribu alasan, seperti sibuk kerja atau sedang ke pergi ke luar kota.

Menurut pengakuan Anto, Majnun memang orang yang tidak suka bergaul dengan warga kampung. Sikap itu pula yang membuat warga membenci Majnun dengan sepenuh hati. Karena tidak semestinya Majnun bersikap sombong, apalagi tak mau bergaul dengan tetangga. Lebih dari itu, Majnun suka menghina orang.

Pernah suatu ketika, ia menghina Anto karena Anto sedang sakit dan minta istirahat beberapa hari untuk libur dari kerja di sawah Majnun. Tapi, Majnun tak memberi izin kepada Anto apalagi memberi bantuan uang untuk berobat. Justru, Anto dihina-hina. "Kau itu sudah miskin, sakit-sakitan lagi! Kapan lagi kamu akan menyelesaikan kerjaan di sawah!" bentak Majnun dengan muka bersemu merah menyala.

Jelas, hinaan itu langsung membuat Anto kecewa dengan majikannya yang selama ini ia bantu. Dalam hati kecil, Anto ingin memutuskan tidak melanjutkan bekerja di sawah Majnun. Tapi ia berfikir ulang, dari mana dia akan mendapatkan uang kalau tidak bekerja sebagai buruh harian di sawah Majnun? Apalagi istrinya sedang hamil dan nanti butuh biaya banyak untuk bersalin. Belum lagi, kebutuhan lain yang harus ditanggung Anto. Saat berpikir jernih, ia pun urung keluar kerja.

Sejak peristiwa itu, Anto menebalkan telinga, dan bungkam seribu bahasa meski Majnun menyumpahi dengan sumpah serapah yang tidak enak didengar. Tak salah, jika orang-orang sebelum Anto pun nyaris tidak pernah bertahan lama selama kerja di sawah Majnun.

Datang Sakit...
Jelas, roda kehidupan datang silih berganti. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin. Ada sehat, ada pula sakit. Ada siang, juga malam. Kadang di atas, suatu kali pun bisa jadi berganti ada di bawah. Seperti halnya Majnun, dia tak selamanya menjadi orang kaya yang bisa merendahkan setiap orang yang ada di sekitarnya. Ia juga tak selamanya akan sehat.

Hingga suatu hati, Majnun mendapat ujian dari Allah. Ia sakit. Ia mengalami stroke, tepatnya di kepala bagian kanan. Sakit yang dideritanya itu tak bisa lagi membuatnya pergi untuk berjualan buah. Tak pelak, ia pun hanya terbaring lemah di atas ranjang, menatap langit rumah yang kelam. Ia tidak mampu berkata-kata kasar pada orang-orang disekitarnya. Ia tak kuasa lagi berbicara dengan keras. Tak kuasa bergerak leluasa, bahkan sekadar untuk memalingkan wajahnya ke kiri atau kanan. Ia sudah tak mampu lagi berbuat banyak.

Satu bulan berlalu, sakit yang diderita Majnun ternyata belum pulih. Maka keluarga dan anak-anak Majnun ditikam bingung, pasalnya sudah sebulan itu pula Majnun menginap di rumah sakit dan biaya rumah sakit sudah membengkak tinggi, tetapi Majnun masih saja tak ada perkembangan. Tetapi apa daya, Allah memang belum berkehendak untuk menyembuhkan Majnun dari sakit. Sudah puluhan juta yang dihabiskan untuk mengobati Majnun. Tapi uang puluhan juta itu tidak mampu menyembuhkan sakit yang diderita oleh Majnun. Karena tidak pernah menderita sakit seperti itu sebelumnya, Majnun pun sering menjerit-jerit dengan kencang, dank eras lantaran tak kuasa menderita rasa sakit.

Saat tahu Majnun sakit keras, warga desa ada yang simpati tetapi ada yang girang bukan kepalang. Mereka yang simpati, akhirnya datang membesuk Majnun dan mendoakannya supaya lekas sembuh dan nanti segera bertaubat atas segala kesombongan dan keangkuhannya setelah diuji Allah dari stroke.

Tapi bagi mereka yang girang mendengar Majnun ditimpa penyakit stroke, sama sekali tak mau menjenguk dan mengatakan jika Majnun ditimpa sakit seperti itu, adalah wajar sebab ia orang sombong dan selalu membanggakan dirinya yang kaya raya. Padahal, kekayaannya yang disombongkan itu pun berangsur-angsur digerogoti kebutuhan untuk membiayai perawatan di rumah sakit.

Jadi Ular Besar
Setelah lama terkapar dan tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya sakit yang diderita Majnun mendekati masa kritis, dan puncaknya Allah menghendaki Majnun meninggal dunia. Majnun menghembuskan nafas terakhir seusai menderita sakit yang tak terperikan. Ia menjerit-jerit, hingga akhirnya kesunyian menjadi saksi bahwa Majnun telah meninggal dunia. Kesunyian itu disusul sedih. Tangis istri dan anak-anaknya pecah. Seketika, kamar rumah sakit ramai isak tangis, ratapan dan jeritan.

Setelah keluarga mengurus biaya rumah sakit, almarhum dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan hari itu. Meski Majnun dikenal kurang baik oleh warga kampung, tetap ada sebagian warga yang melayat. Jenazah almarhum kemudian dimandikan, dikafani, dishalati kemudian diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak ada kejadian aneh yang terjadi waktu pemakaman berlangsung.

Tetapi kejadian aneh berlangsung satu minggu kemudian setelah jenazah Majnun dikebumikan dengan tenang. Sebagaimana umumnya pemahaman sebagian orang kampung Semangka, orang yang meninggal diadakan tahlilan, dan yasinan. Apalagi karena yang meninggal itu adalah orang kaya, maka anak-anak dan isteri Majnun membuat tenda besar di sekitar makam Majnun. Di tenda besar itu, nanti warga desa diundang untuk mengadakan tahlilan dan membaca yasin.

Tak kurang dari empat puluh orang hadir dalam acara tahlilan itu. Tahlilan berlangsung mewah. Bahkan menurut Sanusi (29 thn), seorang warga yang turut diundang tahlilan, menuturkan seusai membaca yasin dan tahlil itu, setiap orang masih diberi uang oleh anak-anak Majnun.

Tahlilan dan yasinan itu dilakukan setelah Maghrib dan rencananya, acara itu akan digelar selama 40 hari. Tapi saat tahlilan dan yasinan itu berlangsung 1 minggu, kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba kuburan Majnun meledak hebat. Orang yang sedang tahlilan kaget, tercekat bunyi ledakan. Apalagi sesaat kemudian, dari dalam kubur muncul seekor ular besar yang menjulur-julurkan lidahnya ke arah warga yang sedang membaca surat Yasin.

Seketika orang yang hadir dalam acara tahlilan itu berhamburan kabur, lari tunggang langgang. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, ular raksasa itu masuk kembali ke kubur yang sudah terbuka.

Kejadian aneh itu ditafsiri warga dengan berbagai cerita. Tetapi, yang jelas di malam itu anak-anka almarhum Majnun segera meminta orang-orang yang ikut tahlilan untuk merahasiakan kejadian aneh tersebut agar tutup mulut, dan setiap orang diberi uang yang lumayan besar.

Tentu saja, cerita tragis yang dialami keluarga Majnun itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Lantaran semasa hidupnya, Majnun dikenal sebagai orang yang sombong, angkuh dan punya pesugihan. Padahal, Allah menganjurkan umat Islam supaya tidak sombong sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Lukman: 18).

Selain itu, pesugihan itu adalah syirik dan dosa syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Semoga kisah Majnun ini menyadarkan kita!

Kisah Sabar




Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik.Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah. 
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnya pun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”“
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”. 
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa[2]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu mereka pun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, aku pun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ| (الرعد:24)
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”
[1] Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda dari Kitab Ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, tahqiq As-Sayyid Syarofuddin Ahmad, terbitan Darul Fikr, (jilid 5 halaman 2-5)
[2] Hal ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia, dan kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas memakannya, Wallahu a’lam.

JUAL BELI

Utsman Bin Affan RA




Utsman Bin Affan RA adalah salah seorang yang sukses dalam perdagangan. Suatu ketika di masa paceklik, gandum miliknya tiba di Madinah. Puluhan pedagang grosir berminat membeli mengingat keuntungan yang dapat mereka raih bila menjualnya kepada konsumen yang ketika itu sangat membutuhkan.

Tetapi setiap datang kepada Usman seseorang yang menawarkan harga, beliau selalu berkata, "Sudah ada yang menawarkan keuntungan melebihi keuntungan yang Anda tawarkan."

Maka penawaran pun meningkat dan meningkat dan jawaban yang beliau berikan tetap sebagaimana semula. Para pedagang sepakat berkata bahwa, "Tidak mungkin ada yang mampu membeli melebihi tawaran tertinggi kami, konsumen tak mampu. Siapa pula yang menawarkan harga melebihi yang kami tawarkan?"

Utsman menjawab tegas, "Allah menawarkan padaku keuntungan 700 persen dan telah kuterima tawaran-Nya dan segera akan kuserahkan kepada siapa yang diberi-Nya, yakni kepada masyarakat miskin."

Itu dikemukakan Utsman RA sambil membaca firman-Nya, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tidap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.