Senin, 15 Juni 2015

Do'a Umar bin Khatab



Pada suatu ketika Umar bin Khatab R.A berkumpul bersama para sahabat. Kemudian dia berkata “Berdo'alah tentang satu keinginan kalian kepada Allah.” Dia meminta para sahabat untuk mengharapkan sebuah permintaan kepada Allah S.W.T. Jadi seorang sahabat mengangkat tangannya dan berdo'a “Ya Allah, kuharap ruangan ini dipenuhi dengan emas dan perhiasan, jadi aku dapat langsung memberikannya di jalan Allah S.W.T.”

Setelah sahabat tadi selesai berdo'a, seorang sahabat yang lain langsung berdo’a “Kuharap aku mempunyai emas dan perhiasan sebesar gunung Uhud sehingga aku dapat langsung memberikannya di jalan Allah S.W.T.”

Tapi Umar R.A. tetap diam. Karena menyadari bahwa Umar diam saja, para sahabat bertanya “Wahai Umar, apa keinginanmu kepada Allah? Dan Allah S.W.T. menganugerahkan kepadamu satu do’a hari ini yang akan dikabulkan Allah Azza wa Jalla. Jadi do’a apa yang akan kau panjatkan?” 

Umar R.A. menjawab “Aku harap ruangan ini dipenuhi dengan orang-orang seperti para sahabat Rasulullah S.A.W sehingga aku dapat menyebarkan Islam ke seluruh dunia.”

Saudara dan saudariku, kesimpulan dari kisah ini adalah: Islam tidak membutuhkan terlalu banyak orang, yang dibutuhkan Islam adalah satu ruangan penuh dengan pria dan wanita sejati untuk mengubah dunia Hanya butuh satu orang untuk mengubah dunia! Ketika masyarakat Arab berada pada masa jahiliyah, Allah mengutus satu orang untuk mengubah keadaan dunia. Orang itu adalah Muhammad S.A.W.

Lihatlah bagaimana Allah hanya mengirimkan satu orang yang spesial untuk mengubah setiap umat pada masanya. Rasulullah S.A.W. bersabda “Di setiap abad, Allah S.W.T. akan mengirimkan satu orang yang akan mengubah umat dan situasinya, dan memperbaharui keimanan agama dalam umat itu.”

Saudara/saudariku, Islam mengajarkan agar kita untuk menjadi satu orang itu. Rasulullah S.A.W. fokus dalam menciptakan pria dan wanita yang dapat mengubah dunia. Dan misi Rasulullah berhasil. Rasulullah S.A.W. menciptakan ribuan pria dan wanita yang dapat mengubah dunia. Sayangnya mereka hanya hidup selama 70-90 tahun. Tapi dengan harapan bahwa anak-anak mereka, yaitu kita, dapat melanjutkan perjuangan mereka.

Semoga Allah memberikan kita kemampuan dan semangat untuk meneruskan bendera Islam yang telah dikibarkan sejak zaman Rasulullah S.A.W. Semoga kita menjadi orang-orang beriman yang mempunyai bagian dalam mengubah keadaan umat ini. Aamiin.

Orang Beriman Tidak Boleh Mengonsumsi Makanan yang Haram












Salah satu ciri dari orang yang beriman adalah orang tersebut tidak makan dari sumber yang haram. Orang yang beriman harus menjaga tubuhnya tetap kuat, dengan tujuan untuk beribadah, hanya dengan makanan yang halal. 
Contohnya seperti ini: Misalnya kita bepergian ke suatu tempat yang jauh dengan mobil. Kemudian kita berhenti di pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Tapi, secara tidak sengaja, petugas pom bensin malah mengisi kendaraan kita dengan solar, bukannya bensin, sehingga mobilnya tidak mau jalan karena salah bahan bakar. Kita terus mencoba untuk menghidupkan mobil itu, tapi mobilnya tetap tidak mau menyala. Akhirnya kita tahu bahwa mobilnya tidak mau menyala karena salah bahan bakar. 
Dari contoh ini dapat kita pahami bahwa jika sebuah mobil yang diciptakan oleh manusia diberikan bahan bakar yang salah, maka mobil itu tidak bisa jalan, bahkan untuk satu kilometer saja. Jadi bagaimana mungkin orang yang beriman mencapai surga dengan makanan yang haram? Itulah mengapa saudara/saudariku, salah satu tanda ketaqwaan adalah kita tidak boleh makan yang haram.
Abu Bakar R.A. pada suatu ketika merasa sangat kelaparan. Kemudian seseorang menyuguhkan sebuah daging yang didapat dari hasil meramal. Ketika dia mengunyahnya, dia bertanya kepada orang yang memberikan daging itu "Darimana kau mendapatkan daging ini?"
"Ini dari pendapatan hasil meramal. Dulu aku sering melakukannya, tapi sekarang sudah taubat. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan orang-orang yang dulu sering kuramal, dan mereka memberikan gajiku yang dulu belum dibayar", kata orang itu.
Dia memang sudah bertaubat, tapi uang yang didapat berasal dari sumber yang haram. Akhirnya Abu Bakar R.A memutuskan untuk memuntahkan daging itu. Dia berpikir bagaimana caranya memuntahkan daging haram yang masuk ke perutnya. Orang-orang memberikan saran kepadanya "Wahai Amirul Mukminin, minumlah air yang banyak sampai kau memuntahkannya." 
Jadi Abu Bakar R.A terus meminum bermangkuk-mangkuk air sampai daging itu dimuntahkan. Ketika daging itu berhasil dimuntahkan, Abu Bakar R.A berkata "Jika dengan tidak memakan daging ini dapat merenggut nyawaku, aku masih tetap akan memuntahkannya."
Itulah mengapa Hazrat Maulana Yusuf R.A sering berkata "Daging itu bagaikan samudra, dan pemikiran seseorang bagaikan permata di dalam samudra." Arti dari peribahasa ini adalah perbuatan dan pemikiran seseorang ditentukan oleh makanan apa yang masuk ke dalam tubuhnya.

Al Fudhail bin Iyadh: Seorang Pencuri yang Menjadi Ulama Besar












Sebelumnya, saya pernah menceritakan kisah tentang seorang pencuri yang berhasil mengungkap pembunuhan berantai di Yordania. Kali ini saya akan bercerita tentang seorang pencuri yang berhasil mengubah hidupnya menjadi ulama besar. Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang pencuri ulung yang bernama Al Fudhail bin Iyadh. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini. Berikut kisahnya:
Hidayah merupakan karunia Allah. Dia memberikannya kepda siapa saja yang dikehendakinya. Termasuk kepada penjahat sekalipun. Imam adz-Dzahabi pernah menceritakan kisah seorang pencuri yang bertaubat , kekmudian dia menjadi seorang ulama. Beliau menceritakan,” Adalah Al fudhail bin Iyadh dulunya sorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu warda dan Sirjis. Awal mulanya beliau pernah terpikat seorang wanita. Suatu malalm beliau menyelinap ke rumah wanita tersebut, ketika beliau memanjat tembok, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Alah serta tunduk kepada kebenaran yang tleh turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq (QS Al Hadid 16)
Tatkala mendengarnya beliau gemetar dan berkata, “ Tentu saja wahai rabb ku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).  Belliau pun turun ke reruntuhan bangunan, tempat beliau tinggal. Tiba-tiba saja sekelompok orang yang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!” dan sebagian yang lain berkata,” Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini,” fudhail menceritakan ,”Kemudian aku merenung dan bergumam.” aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku bertaubat kepadaMu dan aku jadikan taubat itu dengan tinggal di Baitul Haram.
Ayat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin Iyadh dari kelalaian yang panjang. Hingga akhirnya beliau menjadi ulama senior di kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagi ahli ibadah yang zuhud. Ayat itu pula yang menyadarkan Malik bin Dinar yang pada gilirannya menjadi ulama terkemuka di zamannya..
Ayat di atas menjadi teguran yang halus, sekaligus menohok’ terhadap orang-orang yang telah menyatakan  dirinya beriman.  Halus, karena Allah  menyentuh dengan sapaan “orang-orang yang beriman.” Bukan dengan kalilmat “orang-orang yang durhaka”. Menohok karena setiap orang yang merasa  dirinya beriman pasti terhenyak ketika menghayati ayat ini. Ini menimbulkan kesadaran, betapa tidak layaknya seseorang sebagai orang beriman, jika hati dan perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang beriman- Yang terkadang masih menyepelekan dosa-dosa, menomor duakan perintah Allah dan RasulNya. Ditambah lagi merasa enjoy berlama-lama dengan kondisi seperti itu.
Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya seorang mukmin membayangkan dosa-dosanya seperti duduk di kaki gunung dan ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan seorangyang pendosa menganggap dosanya seperti lalat yang hinggap dihidungnya lalu dikibasnya (HR Tirmidzi)
.Para sahabat yang demikian taat pun menganggap bahwa ayat ini sebagai teguran untuk mereka. Abdullah bin Mas’ud berkata, Jarak antara keislaman kami dengan teguran Allah pada ayat ini adalah 4 tahun,: sementara Abdullah bin Abbas mengatakan “ Sesungguhnya Allah menganggp lambat hati orang-orang dalam merespon (ayat-ayatnya) lalu Allah menegur mereka setelah 13 tahun sejak diturunkannya ayat !” yakni teguran dengan ayat ini.
Jika demikian, tentulah kita lebih layak menjadi obyek dari teguran Allah dalam ayat ini. Memang kita telah banyak mendengar ayat Allah dibacakan, juga membaca dan mempelajarinya, alhamdulillah. Namun jujur  kadang hati dan jasad belum juga khusyuk. Hati belum fokus dan konsen terhadap peringatan dari Allah . Ayat-ayat dan hadits Nabi saw tentang larangan, sering pula mampir di telinga, ancamannya pun kerap kita baca. Namun seberapakah efek peringatan itu terhadap hati dan tindakan kita? Seakan masih menunggu waktu  atau masih merasa panjang waktu kita untuk bersenang-senang dan bersibuk-sibuk dengan dunia. Seolah kita tahu berapa jatah umur kita hidup di dunia lalu dengan ‘pede’nya merencanakan  untuk menyisihkan waktu saat taubat beberapa saat saja diujung usia. Alangkah lancangnya kita dengan taqdir Allah. Kita lupa bahwa angan-angan manuis itu melampui batas ajalnya. Kematian bisa saja datang sebelum kita menyelesaikan separuh atau bahkan seperempat dari rencana yang kita buat.
Sementara setan terus menghembuskan bisikan yang memabukkan’ dan berdampak mematikan hati. Bisikan itu adlah ‘taswif , bujukan utntuk menunda kebaikan dan taubat dengan kalimat beracun, “nanti  !” Setan membisikan kata itu setiap kali tercetus hasrat di hati untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karena itulah, Ibnul qayyim Al Jauziyah mengatakan ‘innat taswif min junuudi ibllis’, sesungguhnya taswif (mengatakan nanti untuk kebaikan) adalah satu tentara iblis”.
Membaca ayat di atas mestinya kita tersadar, Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertaubat dan menyuruh kita bersegera kembali kepadaNya setelah sekian lama teledor dan lalai. Dan kita tidak tahu, seberapa lama lagi Allah masih memberi kesempatan dan menunggu kita untuk memperbaiki diri..
Allahuma a inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadtika… Ya Allah aku memohon pertolongan Mu untuk bisa  mengingatMu dan bersyukur kepadaMu serta dalam khusyu beribadah kepadaMu 
(disadur, AR Risalah Media , Menata Hati menyentuh Ruhani)
Sumber: eramuslim.com

Kisah Indah Pernikahan Orang Tua Abu Hanifah

Kisah Indah Pernikahan Orangtua Abu Hanifah



Seorang lelaki yang shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah, membuat air liur Tsabit keluar apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meminta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadam yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya.”


Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah ku makan ini.” Tukang kebun itu memberitahukan, “Apabila Engkau ingin pergi kesana maka Engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?”
Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?”
Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!”
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan!”
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah mengelilingi dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu”alaikum…” Tak disangka sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik.
Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?
Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahawa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa Engkau tuli, mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, kerana Aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa Aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja.
Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemarahan Allah Ta’ala”.
Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
Sumber: mabrurisirampog.wordpress.com

Hampir Mati Syahid Ketika Shalat



Pada suatu ketika, Rasulullah S.A.W. dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk berperang. Ketika hari sudah malam, mereka memutuskan untuk berkemah. Kemah pun disiapkan, kemudian Rasulullah S.A.W. bertanya kepada para sahabatnya “Siapa yang berjaga-jaga untuk malam ini?” Dua orang sahabat berkata “Ya Rasulullah, kami akan mengambil tanggung jawab ribat (menjaga para pasukan ketika malam).”

Semua pasukan pun pulas tertidur kecuali dua orang yang berjaga tadi. Salah seorang dari mereka berkata kepada teman satunya “Daripada menyia-nyiakan malam ini, dan perjalanan kita masih jauh, lebih baik kita jaga secara bergantian. Kau tidur setengah malam, dan aku tidur setengah malam juga.” Mereka berdua pun setuju.

Salah satu dari mereka berbaring untuk tidur. Sahabat yang sedang berjaga melihat-lihat di sekelilingnya, dan tidak ada siapapun malam itu. Dia berpikir “daripada menghabiskan waktu, lebih baik kugunakan untuk shalat Tahajjud?”

Dan ketika dia shalat, musuh datang. Mereka tidak melihat siapapun kecuali sahabat yang sedang shalat itu. Jadi mereka mengambil panah dan menembakkannya. Panah itu mengenainya dan seketika mengalirlah darahnya. Namun dia terus melanjutkan shalatnya. Kemudian musuh mengambil panahnya lagi dan mengenainya, namun dia tetap melanjutkan shalatnya.

Setiap anak panah bagaikan peluru. Bayangkan tangan kita tertembak tapi kita bahkan tidak tersentak, kita tetap berdiri diam disana dan tetap shalat.

Dan mereka terus-menerus menembaknya hingga darahnya terus mengalir. Para ulama Syafi’i menggunakan hadist ini sebagai bukti bahwa darah yang mengalir dari tubuh tidak membatalkan wudhu, karena sahabat ini terus melanjutkan shalatnya.

Dia berkata “Satu-satunya alasan aku membatalkan shalatku karena jika terus tertembak panah, maka aku akan mati. Dan jika aku mati, maka Rasulullah S.A.W. dalam bahaya.” Para sahabat yang lain bertanya “Bagaimana mungkin kau tidak merasakan sakitnya terkena panah?” Dia berkata “Bagaimana mungkin aku merasakan sakitnya dipanah sedangkan aku sedang membaca ayat-ayat Allah S.W.T.?”


Kisah Mahasiswi yang Meninggal Setelah Berzina


 
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Siti Halimah Tusaidah (22) mati dibunuh kekasih haramnya sendiri. Mayat Siti ditemukan warga dalam karung plastik besar di tepi Sungai Cisadane, Rumpin, Bogor pada Ahad 11 Agustus lalu.

Suali alias Ali (25) adalah eksekutornya. Dia menjalin hubungan asmara dengan mahasiswi Universitas Pamulang (Unpam) semester 4 pada tahun 2010 namun, beberapa bulan kemudian hubungan keduanya kandas. Lalu mereka kembali berpacaran saat bulan puasa kemarin.

Menurut pengakuan Ali, sebelum pembunuhan itu terjadi mereka berzina terlebih dahulu. Seusai melakukan perbuatan yang sangat hina di mata agama ini, Siti meminjam Hand Phone pacarnya tersebut dan menghapus nomor kontak ponselnya. Ali pun marah. Terjadilah pertengkaran keduanya. Pertengkaran semakin panas sehingga Ali memutuskan hubungannya.

Siti pun mengancam akan menyebarluaskan bahwa mereka telah berhubungan intim, melalui media jejaring sosial facebook. Hingga pada akhirnya, Ali membunuh Siti.

Lalu Ali membenamkan wajah Siti ke tanah. Setelah melihat Siti terkapar lemas di tanah, Ali kemudian menjerat leher Siti dengan kerudung biru yang dikenakan mahasiswi itu. Ali kemudian membungkus Siti ke dalam karung dan membuangnya di pinggiran Sungai Cisadane.

Ringkasnya, Siti mati setelah melakukan zina bersama pasangan haramnya. Padahal ancaman siksa atas pelaku zina sangatlah berat. Bahkan, jika tegak hukum Islam si pezina yang belum pernah menikah dicambuk di depan umum sebanyak 100 kali, lalu diasingkan selama satu tahun.

Di alam kubur, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengabarkan siksa ngeri bagi pelaku zina dalam mimpinya. Yakni, pezina laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang ditaruh pada sebuah tungku api yang sangat besar, bagian bawahnya sangat luas sementara bagian atasnya lebih sempit. Di bawah tungku tersebut dinyalakan api yang menyala-nyala. Terdengar dari dalamnya kegaduhan dan suara teriakan yang mengerikan. Jika api itu menyala maka terangkatlah mereka sehingga hamper-hampir terlempar ke luar. Mereka menjerit sejadi-jadinya. Namun jika apinya mengecil maka mereka kembali turun. Dan siksa tersebut akan berulang-ulang mereka rasakan sehingga terjadinya kiamat. (HR. Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)

Dan setelah terjadinya kiamat, siksa yang lebih berat dan keras telah menanti mereka.

Kerasnya ancaman hukuman bagi pezina tak lepas dari beratnya perbuatan zina dalam pandangan Islam. Bahkan sebagian hadits mengindikasikan hilangnya iman dari diri pezina saat ia berzina.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Seorang pezina yang akan berzina tak akan jadi berzina ketika dalam keadaan beriman. Seorang pencuri yang akan mencuri tak akan jadi mencuri ketika dalam keadaan beriman. Seorang peminum khamar yang akan meminum khamar tak akan jadi meminumnya ketika dia dalam keadaan beriman.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lafadz milik Muslim)

Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits di atas. Namun makna yang benar adalah perbuatan maksiat di atas tidak akan dilakukan, jika orang itu memiliki keimanan yang sempurna. Pengertian ini diambil dari lafadz-lafadz yang diungkapkan untuk penafian sesuatu dan yang dimaksudkan adalah penafian sebagaimana adanya.”

Dalam Shahih Bukhari, setelah beliau meriwayatkan hadis ini, Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana tercabutnya keimanan dari orang itu?”

Ibnu Abbas menjawab, “Seperti ini.” Ibnu Abbas menjalin jari-jarinya dan melepaskankan jalinan jari-jarinya. Ibnu Abbas kembali menjelaskan, “Jika dia bertaubat, maka jari-jari ini akan kembali terjalin." Demikianlah, Ibnu Abbas kembali memperlihatkan jari-jarinya yang terjalin.

Dalam hadits lainnya, Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya, maka dia seperti payung yang berada di atas kepalanya. Jika dia meninggalkan perbuatan zina itu, maka keimanan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. At Tirmizi danAbu Dawud)

Karenanya, bagi saudaraku muslimin dan muslimat janganlah dekati perbuatan zina. Sesungguhnya Allah sangat murka kepada perbuatan tersebut, memperingatkan dari segala sesuatu yang menghantarkan kepadanya, dan mengancam dengan kehinaan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat.

Semoga Allah menguatkan kita selalu dan menjauhkan dari segala sebab keburukan iman. Aamin ya Robbal alamin.

Wallahu A’lam.
 
Sumber: Strawberry