Kamis, 28 Mei 2015

Romantis Itu

fateh ilyas 

Just do it 

Sahabat..
Romantis itu….
Ketika malam tinggal sepertiga, seorang istri terbangun. Ia berwudhu,
menunaikan shalat dua rakaat. Lalu membangunkan suaminya.; 
“Sayang…bangun… saatnya shalat.” Maka mereka berdua pun tenggelam dalam khusyu’ shalat dan munajat. 

Romantis itu…
Ketika seorang istri mengatakan,; 
“Sebentar lagi adzan, Sayang…” 
Lalu sang suami melangkah kemasjid, menunaikan tahiyatul masjid. 
Tak ketinggalan ia menunaikan dua rakaat fajar. Maka ia pun menjadi pemenang; lebih baik dari dunia seisinya. 

Romantis itu…
Ketika suami berangkat kerja, sang istri menciumnya sambil membisik mesra,;“Hati-hati di jalan, baik-baik di tempat kerja sayang…kami lebih siap menahan lapar daripada mendapatkan nafkah yang tidak halal” 

Romantis itu… 
Ketika suami istri terpisah jarak, tetapi keduanya saling mendoakan di waktu dhuha: 
“Ya Allah, jagalah cinta kami, jadikanlah pasangan hidup dan buah hati kami penyejuk mata dan penyejuk hati, tetapkanlah hati kami dalam keimanan teguhkanlah kaki kami di jalan kebenaran dan perjuangan, ringankanlah jiwa kami untuk berkorban, maka mudahkanlah
perjuangan dan pengorbanan itu dengan rezeki halal dan berkah dariMu” 

Romantis itu…
Ketika suami sibuk kerja, saat
istirahat ia sempat menghubungi istrinya. Mungkin satu waktu dengan
menghadirkan suara. Mungkin hari lainnya dengan WA dan SMS cinta.
“Apapun makanan di kantin kantorku, tak pernah bisa mengalahkan masakanmu.” Lalu sang istri pun membalasnya,; “Masakanku tak pernah senikmat ketika engkau duduk di sebelahku.” 

Romantis itu…
Ketika suami mengucap salam, sang istri menjawabnya disertai. Bertemu saling mendoakan. Tangan dicium, pipi dikecup bergantian.

Romantis itu…
Ketika sang istri tak berat melepas suami mukhoyyam, kemudian ketika pulang melihat sang istri sdg shalat...

Met mlm jumat bagi yg melaksanakan... 

quotes
Romantis bukan hanya sekedar kata...tapi harus dibarengi dengan sikap dan perbuatan. 

Wassalam.

Oleh : fateh ilyas 

SEORANG IBU TIDAK ADA TANDINGANYA

SEORANG IBU TIDAK ADA TANDINGANYA
Seorang pemuda datang melamar wanita cantik dan kaya , akhirnya terjadilah kesepakatan.
Namun tatkala si wanita mengetahui profesi ibunda si pria, maka si wanita memberi syarat, "pada waktu resepsi pernikahan, ibumu tidak boleh datang"

Setelah berfikir, demi untuk mewujudkan pernikahannya, si pemuda dgn terpaksa menyetujuinya.
Namun sebelumnya ia menjumpai salah seorang guru spiritualnya untuk meminta pendapatnya.
Sang guru bertanya, "apa pekerjaan ibumu?
"Aku ditinggal mati ayahku saat umurku 1 tahun, akhirnya untuk membesarkanku, ibuku bekerja sebagai tukang cuci pakaian dan dia berhasil mengantar saya sampai jadi sarjana ".
Jawab pemuda itu.
"Begini, hari ini kau pulang, dan kau cuci kedua tangan ibumu, besok kau kembali lagi kesini, aku akan kasih pendapatku" jawab sang guru.
Pulanglah pemuda itu, dan dia mendekati ibunya dan mencuci kedua tangannya, dia melihat begitu kasarnya tangan ibunya, ada bekas2 luka dan kulit yg terkelupas, ia melihat pemandangan itu sambil mencucurkan air mata.
Dan akhirnya ia tidak tahan untuk menunggu hari esok, dia datangi lagi sang guru dan si pemuda berkata;
"AKU TIDAK AKAN MENGORBANKAN BUNDAKU UNTUK SIAPAPUN".
Banyak di antara kita yg sering melupakan budi baik ibu kita. Demi kenikmatan semu.
Maka saatnya kita mencuci kedua tangan ibu kita yg selalu membelai kita dan membersihkan kita, Karena suatu saat belaian itu akan pergi dan kau akan kehilangan tiket masuk surgamu.
Subhanallah...
Semoga yang "like" dan "bagikan" tausiyah ini semua dosanya diampuni Allah, diangkat derajatnya, dikabulkan segala hajatnya dan mendapatkan pasangan yang sakinah serta anak yang sholeh/sholeha hingga bisa masuk surga melalui pintu mana saja yang dikehendaki. Aamiin ya Rabbal'alamiin
(Cahaya Islam)

Jawaban Allah Ketika Kita Membaca Al-Fatihah

 SEBUAH RENUNGAN 

Bismillahirrohmanirrohim ... Jawaban Allah Ketika Kita Membaca Al-Fatihah Banyak sekali orang yang cara membacanya tegesa-gesa tanpa spasi, dan seakan-akan ingin cepat menyelesaikan shalatnya. Padahal di saat kita selesai membaca satu ayat dari surah Al-Fatihah tersebut, ALLAH menjawab setiap ucapan kita. Dalam Sebuah Hadits Qudsi Allah Subhanahu Wata'ala ber-Firman: "Aku membagi shalat menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk Hamba-Ku. ■ Artinya, tiga ayat di atas Iyyaka Na'budu Waiyyaka nasta'in adalah Hak Allah,
dan tiga ayat kebawahnya adalah urusan Hamba-Nya.
■ Ketika Kita mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil'alamin
"Allah menjawab:" Hamba-Ku telah memuji-Ku . "
■ Ketika kita mengucapkan "Ar-Rahmanir-Rahim"
Allah menjawab: "Hamba-Ku telah mengagungkan-K u
■ Ketika kita mengucapkan "Maliki Yaumiddin"
Allah menjawab: "Hamba-Ku memuja-Ku.
■ Ketika kita mengucapkan "Iyyaka na 'budu waiyyaka nasta'in "
Allah menjawab: "Inilah perjanjian antara Aku dan hamba-Ku.
■ Ketika kita mengucapkan "Ihdinash shiratal mustaqiim, Shiratalladzina an'amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladdhooliin.
Allah menjawab: "Inilah perjanjian antara Aku dan hamba -Ku. Akan Ku penuhi yang ia minta.
■ Berhentilah sejenak setelah membaca setiap satu ayat.Rasakanlah jawaban indah dari Allah,
karena Allah sedang menjawab ucapan kita.
■ Selanjutnya kita ucapkan "Aamiin" dengan ucapan yang lembut, sebab Malaikat pun sedang mengucapkan hal yang sama dengan kita.
■ Barang siapa yang ucapan "Aamiin-nya"
bersamaan dengan para Malaikat,
maka Allah akan memberikan Ampunan kepada-Nya. "

Humor Sufi 1001 Malam Abu Nawas: Menipu Tuhan .. "

Humor Sufi 1001 Malam Abu Nawas: Menipu Tuhan .. "

 
 
Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas memiliki murid yang tidak sedikit.Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, " Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil? ""Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas."Mengapa?" kata orang pertama. "Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas. Orang pertama puas karena ia memang yakin be gitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama."Manakah yang lebih utama, orang yang menger jakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?" "Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas. "Mengapa?" kata orang kedua. "Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak membutuhkan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas. Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang menger jakan dosa-dosa kecil?" "Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas. "Mengapa?" kata orang ketiga. "Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya."Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?" "Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati." "Apakah tingkatan mata itu? " tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. La mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan. "Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. La mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas. "Lalu apakah tingkatan hati itu?"tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang me ngerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan kemaha-Besaran Allah." Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa per tanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi. "Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?" "Mungkin." jawab Abu Nawas. "Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu. "Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas "Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru."pinta mu rid Abu Nawas "Doa itu adalah: llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahiimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi. Sedangkan arti doa itu adalah: Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.Wallahua'lam bishshowwab .....

Permisalan Istri yang Buruk dalam Al-Qur’an

Permisalan Istri yang Buruk dalam Al-Qur’an
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al -Atsariyyah

Di akhirat kelak, setiap manusia akan menuai apa yang ia tanam di dunia. Begitu juga seorang istri. Ia akan menerima balasan sesuai dengan amalannya di dunia. Sebagus apapun suaminya, itu tidak akan memperingannya dari adzab Allah.
Setiap muslimah tentu mendambakan dirinya dapat menjadi istri yang baik, istri yang shalihah, yang dipuji sebagai sebaik-baik perhiasan dunia oleh Ar-Rasul r:
“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”1
Sehingga, seorang muslimah dituntut untuk senantiasa bersungguh-sungguh menjaga dirinya agar tidak terpuruk dalam kejelekan dan keburukan yang berakibat kehinaan bagi dirinya. Karenanya, ia semestinya berusaha mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa atau kisah yang ada, baik yang telah lampau maupun yang belakangan. I‘tibar (mengambil pelajaran) seperti ini merupakan tuntunan dari Rabbul ‘Izzah, Allah I, sebagaimana firman-Nya:
“Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Al-Hasyr: 2)
Di dalam Al-Qur`an yang mulia, Allah I banyak membuat permisalan/ perumpamaan untuk hamba-hamba-Nya, agar mereka mau merenungkan dan memikirkannya.
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (Al-Hasyr: 21)
Di antaranya, gambaran istri yang buruk disebutkan dalam ayat berikut ini:
“Allah membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat2 kepada kedua suami mereka, maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah, dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (At-Tahrim: 10)
Istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth Termasuk Orang-orang Kafir
Nabi Nuh u dan Nabi Luth u merupakan dua insan yang Allah I pilih untuk menerima risalah dan menyampaikannya kepada kaum mereka. Kedua rasul yang mulia ini pun mengemban risalah dengan sebaik-baiknya, mengajak kaum mereka yang durhaka agar kembali kepada Allah I dengan mentauhidkan-Nya dan meninggalkan periba-datan kepada selain-Nya.
Namun dengan ke-mahaadilan-Nya, Allah I menakdirkan istri kedua nabi yang mulia ini justru tidak menerima dakwah suami mereka. Padahal keduanya adalah teman kala siang dan malam, yang mendampingi ketika makan dan tidur, selalu menyertai dan menemani. Kedua istri ini mengkhianati suami mereka dalam perkara agama, karena keduanya beragama dengan selain agama yang diserukan oleh suami mereka. Keduanya enggan menerima ajakan kepada keimanan bahkan tidak membenarkan risalah yang dibawa suami mereka.3
Disebutkan oleh Ibnu Abbas c bahwa istri Nabi Nuh berkata kepada orang-orang: “Nuh itu gila”. Bila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh u, ia pun mengabarkannya kepada kaumnya yang dzalim lagi melampaui batas4. Sementara istri Nabi Luth u mengabarkan kedatangan tamu Nabi Luth u kepada kaumnya5, padahal Nabi Luth u merahasiakan kedatangan tamunya karena khawatir diganggu oleh kaumnya6.
Inilah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Hubungan mereka berdua dengan suami yang shalih dan kedekatan mereka tidak bermanfaat sama sekali disebabkan kekufuran mereka7. Sehingga kelak di hari akhirat dikatakan kepada kedua istri tersebut: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka.”
Kedekatan Suami-Istri tanpa Disertai Keimanan Tidaklah Ber-manfaat di Sisi Allah I Kelak
Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim menyatakan: “Dalam firman Allah I:
“Maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah.”
(Dalam ayat ini) ada penjelasan bahwa pertalian suami istri tidak bermanfaat sama sekali dengan adanya kekufuran dari salah satu pihak. Allah I telah menerangkan apa yang lebih penting daripada hal itu pada seluruh hubungan kekerabatan, seperti firman-Nya:
“Pada hari di mana tidak bermanfaat harta dan anak-anak.”
Dan firman-Nya:
“Pada hari di mana seseorang lari dari saudaranya, dari ibunya dan bapaknya, dari istrinya dan anak-anaknya.”
Allah I menjadikan dua wanita ini sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir, dan ini mencakup seluruh kerabat sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Aku pernah mendengar Asy-Syaikh (yakni Asy-Syinqithi) –semoga Allah I merahmati kami dan beliau– dalam muhadharah (ceramah)nya pernah membahas permasa-lahan ini. Beliau pun menyebutkan kisah dua wanita tersebut, demikian pula kisah Nabi Ibrahim u bersama ayahnya, juga Nabi Nuh u bersama anaknya. Maka sempurnalah seluruh sisi kekerabatan: ada istri bersama suaminya, anak bersama bapaknya, dan bapak bersama anaknya. Beliau juga menyebutkan hadits Rasulullah n:
“Wahai Fathimah (bintu Rasulullah), beramallah engkau karena aku tidak bisa mencukupimu (menolongmu) dari Allah sedikitpun.”
Kemudian beliau berkata: “Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberikan keman-faatan kepada orang lain pada hari kiamat kelak, walaupun kerabat yang paling dekat, kecuali dengan perantara keimanan pada Allah dan dengan syafaat yang diizinkan-Nya kepada hamba yang dimuliakan-Nya, sebagaimana dalam firman Allah I:
“Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak turunan mereka dalam keimanan, maka akan Kami gabungkan mereka itu dengan anak-anak turunan mereka.” (Tatimmah Adhwa`il Bayan, 8/382)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Ayat-ayat ini mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin8. Kandungan permisalan untuk orang-orang kafir yaitu bahwa orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan permu-suhannya terhadap Allah I, rasul-Nya, dan para wali-Nya. Dengan kekufurannya tersebut, hubungan nasab tidak bermanfaat baginya, juga periparan (kekerabatan karena pernikahan) atau hubungan lainnya di antara sekian hubungan dengan kaum mukminin. Karena seluruh hubungan itu akan terputus pada hari kiamat, kecuali pertalian yang bersambung dengan Allah I saja lewat bimbingan tangan para rasul. Seandainya hubungan kekerabatan, periparan atau pernikahan itu bemanfaat walau tanpa disertai keimanan, niscaya hubungan Nuh dengan istrinya dan Luth dengan istrinya akan bermanfaat. Namun ternyata keduanya tidak dapat menolong istri mereka dari adzab Allah I sedikit pun. Bahkan dikatakan kepada istri-istri mereka: “Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk”. Ayat ini memutus keinginan dan harapan orang yang berbuat maksiat kepada Allah I dan menyelisihi perintah-Nya untuk mendapat kemanfaatan dari kebaikan orang lain, baik dari kalangan kerabatnya atau orang asing, sekalipun ketika di dunia hubungan antara keduanya sangatlah erat. Tidak ada hubungan yang paling dekat daripada hubungan ayah, anak dan suami istri. Namun lihatlah Nabi Nuh u tidak dapat menolong anaknya, Nabi Ibrahim u tidak dapat menolong ayahnya, Nabi Nuh dan Luth e tidak dapat menolong istrinya dari adzab Allah I sedikit pun. Allah I berfirman:
“Karib kerabat dan anak-anak kalian sekali-kali tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian.” (Al-Mumtahanah: 3)
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.”(Al-Infithar: 19)
“Dan jagalah diri kalian dari adzab hari kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (Al-Baqarah: 123)
“Takutlah kalian dengan suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (Luqman: 33) [I‘lamul Muwaqqi‘in 1/188, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin At-Ta`wil, 9/183-184]
Pelajaran yang Bisa Dipetik
q Hubungan dan kedekatan seorang istri dengan suami yang shalih, berilmu dan berakhlak mulia, tidak bermanfaat sama sekali di hadapan Allah I kelak, bila si istri tetap berkubang dalam kejelekan dan dosa.
q Adzab Allah I hanya bisa dihindari dengan ketaatan bukan dengan wasilah (perantara), sehingga seorang istri yang durhaka namun ia memiliki suami yang shalih tidak akan bisa menghindar dari adzab Allah I dengan perantara kedekatannya dengan sang suami.
q Dengan adanya perintah agar istri Nuh dan istri Luth masuk ke dalam neraka , Allah I hendak memutus harapan setiap orang yang berbuat maksiat dari mendapatkan keman-faatan dari keshalihan orang lain.
q Seorang istri tidak sepantasnya berkhianat kepada suaminya dalam kehor-matan maupun dalam agamanya. Bahkan ia harus menyepakati suaminya dalam kebaikan dan ketaatan. Terlebih bila suaminya adalah seorang da‘i, dia mestinya menjadi orang pertama yang mengikuti dakwah suami dan mendukung dakwahnya, sebagaimana yang dilakukan Khadijah x dengan suaminya yang mulia, Rasulullah n.
q Masing-masing orang harus beramal agar selamat di akhiratnya karena menda-patkan rahmat Allah I dan tidak mengandalkan amal orang lain. Termasuk pula seorang istri, ia harus bertakwa kepada Allah I, menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Janganlah ia tertipu dengan kebera-daan suaminya, bagaimanapun keshalihannya, keilmuannya yang tinggi dan kedudukannya yang mulia dalam agama, di hadapan mad‘u-nya dan masyarakatnya. Jangan ia merasa cukup dengan bersuamikan seorang ustadz atau seorang syaikh sekalipun, lalu ia merasa aman, merasa pasti masuk surga karena kedudukan suaminya. Sehingga ia pun duduk berpangku tangan enggan untuk belajar agama Allah I guna menghilangkan kejahilannya, dan malas pula beramal shalih9. Kita katakan pada orang seperti ini: Ambillah pelajaran wahai ukhti dari kisah istri dua nabi yang mulia, Nuh dan Luth i.Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 HR. Muslim no. 1467, kitab Ar-Radha’ bab Khairu Mata’id Dunya Al-Mar`atush Shalihah
2 Berkhianat di sini bukan maksudnya mereka berdua menyeleweng/selingkuh dengan lelaki lain yang bukan suami mereka dengan melakukan zina atau perbuatan fahisyah/keji lainnya. Karena para istri nabi terjaga dari berbuat fahisyah disebabkan kehormatan/ kemuliaan para nabi tersebut. Dengan demikian Allah I tidak mungkin memasangkan nabinya dengan seorang istri yang suka melacurkan diri (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 874, Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1423). Para mufassirin sepakat, tidak ada seorang pun dari istri nabi yang berzina (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, 18/131, Fathul Qadir 5/305)
3 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1423, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874
4 Ma‘alimut Tanzil/ Tafsir Al-Baghawi 4/338, Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash, 4/624
5 Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya no. 34461, 34462
6 Karena kaum Nabi Luth u punya kebiasaan keji, mereka senang melakukan hubungan dengan sesama jenis (homoseksual). Bila melihat seorang lelaki yang tampan, mereka sangat bernafsu untuk mengumbar syahwat binatang mereka. Nabi Luth u pernah kedatangan tamu yang terdiri dari para malaikat dengan rupa lelaki yang rupawan. Allah I kisahkan dalam Al-Qur`an:
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit”. Akhirnya datanglah kaumnya kepadanya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Wahai kaumku, inilah putri-putriku (nikahi mereka para wanita, –pent.) mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan namaku di hadapan tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sungguh kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Luth berkata: “Seandainya aku memiliki kekuatan untuk menghadapi kalian atau jika aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat tentu akan aku lakukan”. Para utusan itu berkata: “Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu. Karena itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, jangan ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal (jangan menoleh ke belakang), kecuali istrimu, sungguh dia akan ditimpa adzab seperti yang menimpa mereka…” (Hud: 77-78)
7 Tafsir Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani 3/324, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir At-Thabari, 12/160-161, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874, Adhwa`ul Bayan 8/381
8 Seperti disebutkan dalam kelanjutan ayat di atas (At-Tahrim: 11-12):
“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berdoa: ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam jannah (surga), dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.’ Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian ruh (ciptaan) Kami, dan Maryam membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya. Adalah dia termasuk orang-orang yang taat.”
9 Namun bagaimana ia bisa beramal dengan benar dan tepat bila tidak belajar? Bukankah al ilmu qablal qauli wal ‘amali (ilmu itu sebelum berucap dan beramal), seperti ucapan Al-Imam Al-Bukhari ketika memberi judul bab (tarjumah) dalam Shahihnya, (kitab Al ‘Ilm).

Bila Suami Berperangai Kasar

(Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

Seorang ibu dari tiga anak tampak menahan isak tangisnya ketika menceritakan perlakuan yang diterimanya dari suaminya. Ketidakpedulian, ucapan yang kasar, dan pukulan sudah menjadi teman dalam hidupnya selama berkeluarga. Sebenarnya sakit di badan sudah tak dirasakan namun sakit di hati terus tersimpan sampai membawanya untuk mengadukan kisah hidupnya dengan satu asa akan ada jalan keluar dari deraan derita.
Betapa malang nasib seorang wanita yang lemah bila mendapatkan suami yang berperangai kasar lagi "ringan tangan" seperti itu. Padahal Rasul yang mulia n telah bertitah:
"Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah."
Datanglah 'Umar ibnul Khaththab z untuk mengeluh:
"Wahai Rasulullah, sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka."
Mendengar pengaduan ini Rasulullah n memberi izin kepada para suami untuk memukul istrinya. Namun ternyata setelahnya banyak wanita datang menemui istri-istri Rasulullah n guna mengadukan suami-suami mereka. Maka kata beliau n:
"Sungguh banyak wanita berkeliling di keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka. Bukanlah para suami yang memukul istri (dengan keras) itu orang yang terbaik di antara kalian. "(HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Kata Rasul n, mereka bukanlah orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya. Justru ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ingin memberi (pukulan) pendidikan kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan keras sampai membuatnya mengeluh / mengeluh. ('Aunul Ma'bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Dharbin Nisa`)
Al-Imam Al-Baghawi v menjelaskan bahwa sekalipun memukul istri dibolehkan karena akhlak mereka yang jelek misalnya, namun menahan diri dan bersabar atas kejelekan mereka serta tidak memukul mereka justru lebih utama dan lebih bagus. Ucapan yang semakna dengan ini juga dihikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi'i v. (Syarhus Sunnah, 9/187)
Apakah suami sama sekali tidak dibolehkan memukul istrinya? Jawabannya sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, dapat bila memang diperlukan1. Adapun bila memukul itu sudah menjadi kebiasaan, salah sedikit pukul, marah sedikit pukul, sampai si istri babak belur, maka jelas tidaklah diperbolehkan.
Bila istri melakukan nusyuz, durhaka kepada suaminya dan tidak mempan dinasihati dengan baik, tidak pula berubah setelah 'diboikot' di tempat tidurnya, ketika itu suami dibolehkan menempuh tahapan ketiga untuk meluruskan kebengkokan istrinya, yaitu dengan memukulnya. Tahapan ini ditunjukkan dalam firman Allah l:
"Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini2) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka." (An-Nisa`: 34)
Dengan demikian, cara pukulan barulah ditempuh setelah cara lain tidak manjur. Bukan pukulan jadi tameng pertama untuk menghadapi atau menghukum kesalahan istri.
Rasulullah n ketika menasihati Fathimah bintu Qais x dalam urusan pernikahan, ia memberi bimbingan agar Fathimah jangan menerima lamaran laki-laki yang diketahui suka memukul wanita. Kisahnya bisa kita simak berikut ini:
Fathimah bintu Qais x ditalak tiga oleh suaminya Abu 'Amr bin Hafsh. Ia lalu menjalani masa iddahnya dan Rasulullah n telah berpesan, "Bila engkau telah selesai dari iddahmu, beritahu aku." Selesai masa iddahnya, Fathimah mengabarkan kepada Rasulullah n bahwa ia dilamar oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm c. Rasulullah n bersabda:
"Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu'awiyah seorang yang fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah satunya, tapi pent.) Menikahlah dengan Usamah bin Zaid. "(HR. Muslim no. 3681)
Makna "tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya" ditunjukkan dalam riwayat lain:
"Adapun Mu'awiyah, ia pria yang fakir tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah pria yang suka memukul para wanita .... "(HR. Muslim no. 3696)
"Adapun Mu'awiyah, ia seorang yang fakir lemah kondisinya. Sedangkan Abul Jahm memiliki sifat keras terhadap para wanita -atau ia biasa memukul para wanita, atau yang semisalnya- .... "(HR. Muslim no. 3697)
Ketika seorang suami terpaksa memukul istri maka pukulan tersebut tidak bisa sampai membuat cacat. Hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan, sehingga tidak membuat si istri menjauh ataupun mendendam kepada suaminya. (Fathul Bari, 9/377)
Saat menyampaikan khutbah di haji Wada ', Nabi n memberi wejangan:
"Bertakwalah kalian kepada Allah dalam hal para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak bisa membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. "(HR. Muslim no. 2941)
Sabda Nabi n kata Ibnul Atsir v adalah pukulan yang tidak keras / berat. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/113)
Rasul yang mulia juga menitahkan:
"Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk seorang budak, kemudian ternyata di akhir hari ia menggauli istrinya." (HR. Al-Bukhari no. 5204 dan Muslim no. 7120)
Al-Imam An-Nawawi v berkata: "Dalam hadits ini ada larangan memukul istri tanpa alasan terpaksa dalam rangka mendidik." (Al-Minhaj, 17/186)
Setelah ia sakiti tubuh istrinya dengan cambukan, ternyata di akhir harinya atau di malam harinya ia ingin bersenang-senang dengan tubuh tersebut. Tidakkah tindakan seperti ini menghancurkan hati seorang wanita ??? Ia disakiti kemudian diminta untuk melayani suami yang menyakitinya ??? Sementara sebagai istri, ia dilarang untuk menolak ajakan suaminya4. Dan sebagai istri shalihah ia harus memberikan suaminya.5
Dengan demikian, seorang suami yang berakal tidak akan berlebihan dalam memukul istrinya, kemudian beberapa waktu setelahnya ia menggaulinya. Karena jima 'hanyalah baik dilakukan bila disertai kemiringan jiwa dan keinginan untuk bergaul dengan baik. Sementara orang yang dipukul, secara umum akan menjauh dari orang yang memukulnya. (Fathul Bari, 9/377)
Rasulullah n menyarankan kepada sahabatnya Laqith bin Shabirah z ketika mengadukan kejelekan lisan istrinya:
"Janganlah engkau memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu." (Penggalan dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud no. 142, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abi Dawud)
Al-Imam Al-Baghawi v dalam Syarhus Sunnah (1/418) setelah membawakan hadits di atas menyatakan bahwa larangan dalam hadits ini bukan maknanya haram memukul istri jika memang dibutuhkan.Karena Allah l sendiri memungkinkannya ketika dikhawatirkan perbuatan nusyuz dari istri. Allah l berfirman:
"Maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka." (An-Nisa`: 34)
Yang dilarang hanyalah pukulan yang menyakitkan atau membuat cacat, sebagaimana pukulan yang dikenakan terhadap para budak menurut kebiasaan orang yang menganggap bisa memukul mereka. Diserupakannya dengan memukul anak di sini juga bukan berarti bisa memukul budak6, namun konteksnya di sini adalah untuk mencela orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga Rasulullah n melarang meniru mereka.
Kebiasaan lain yang kita dapatkan dari suami yang suka memukul, seringnya yang jadi sasaran pukulannya adalah wajah. Padahal menampar wajah hukumnya haram sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya:
"Janganlah engkau memukul wajah (istrimu), jangan menjelekkannya7, dan jangan memboikot (mendiamkan) -nya kecuali di dalam rumah8." (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Al-Jami'ush Shahih , 3/86)
Demikian juga hadits:
"Apabila salah seorang dari kalian memukul saudaranya9 maka hendaknya ia menjauhi wajah." (HR. Muslim no. 6594)
Dalam riwayat lain:
"... Maka jangan sekali-kali ia menampar wajah." (HR. Muslim no. 6597)
Demikianlah ... Lebih dari semua itu, teladan kita yang mulia Rasulullah n adalah suami yang sangat lembut. Tak pernah melakukan kekerasan terhadap istrinya, dan tak pernah memukul seorang pun. Sebagaimana berita dari salah seorang istri beliau Ummul Mukminin Aisyah x:
"Rasulullah n sama sekali tidak pernah memukul seorang pun dengan tangannya. Tidak pernah memukul seorang wanita, tidak pernah pula memukul pembantunya, kecuali bila ia berjihad fi sabilillah .... "(HR. Muslim no. 6004)

Nasihat Seorang Ulama dalam Menghadapi Suami yang Kasar
Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang 'alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul' Aziz bin Baz v yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabi.
Sang wanita mengeluh, "Suami saya tidak menaruh perhatian kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya, sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui bagaimana kondisi saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan, serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya. Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila bersama teman-temannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah l wajibkan kepada saya.
Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus tetap tinggal bersamanya dalam kondisi yang seperti ini, menahan diri (berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari berpartisipasi serta ikut merasakan permasalahan-permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah l membalas Anda dengan kebaikan. "
Syaikh yang mulia v menyarankan, "Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk bergaul dengan ma'ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak yang utama, berdasarkan firman Allah l:
"Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma'ruf." (An-Nisa`: 19)
Dan juga firman-Nya:
"Mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma'ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka." (Al-Baqarah: 228)
Dan sabda Nabi n:
"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik." (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau n:
"Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, meskipun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat bertemu dengan saudaramu." (HR. Muslim)
Dan ucapan beliau n:
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku. "10
Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk berakhlak yang baik, bertemu dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara suami istri dan dengan karib kerabat.
Sungguh Anda telah melakukan hal yang baik dengan kesabaran dan ketabahan Anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak suami Anda. Saya pesankan kepada Anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan meninggalkan rumah suami Anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman Allah l:
"Bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46)
"Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (Yusuf: 90)
"Hanyalah orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan." (Az-Zumar: 10)
"Bersabarlah engkau, sesungguhnya akhir / kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa." (Hud: 49)
Tidak ada larangan bagi Anda untuk mengajaknya bercanda dan berbicara dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang menyebabkannya senang kepada Anda dan membuatnya menyadari hak Anda terhadapnya.
Tidak usah Anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi kepadanya selama ia masih menegakkan hal-hal penting yang wajib. Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari memenuhi tuntutan Anda. Anda akan mendapatkan akhir / kesudahan yang baik Insya Allah.
Semoga Allah l memberi taufik kepada Anda agar memberikan tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki kondisi suami Anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah l adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. "(Al-Fatawa, Kitab Ad-Da'awat, 1 / 193-195)
Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang menerima sikap kasar dari suami.
Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai doa kepada Ar-Rahman ...! Sungguh kesudahan yang baik akan Anda raih dengan izin Allah l.
Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.

1 Adapun hadits yang berisi larangan secara mutlak dari Rasulullah n untuk memukul istri setelah sebelumnya mengizinkannya, tidaklah shahih. Seperti hadits Ibnu 'Abbas c, ia berkata:
أن الرجال استأذنوا رسول الله في ضرب النساء فأذن لهم, فضربوهن. فبات فسمع صوتا عاليا فقال:
ما هذا? فقالوا: أذنت للرجال في ضرب النساء فصربوهن. فنهاهم وقال: خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهله
"Ada orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah agar dibolehkan memukul istri. Dia pun mengizinkannya sampai mereka memukul istri-istri mereka. Saat berada di waktu malam, ia mendengar suara yang tinggi / keras. Dia bertanya, "Suara apa itu?" Tanya dia. Mereka menjawab, "Engkau telah mengizinkan beberapa orang untuk memukul istri, lalu mereka memukulnya." Rasulullah kemudian melarang mereka dan bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya." ( Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
2 Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Ibnu 'Abbas c. (Al-Jami 'li Ahkamil Qur`an, 5/112, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1162, lihat Ash-Shahihah no. 284. 

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

 Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

Nasihat Seorang Ulama dalam Menghadapi Suami yang Kasar

Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz v yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabi.
Sang wanita mengadu, “Suami saya tidak menaruh perhatian kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya, sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui bagaimana keadaan saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan, serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya. Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila bersama kawan-kawannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah l wajibkan kepada saya.
Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus tetap tinggal bersamanya dalam keadaan yang seperti ini, menahan diri (berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari menyertai serta ikut merasakan permasalahan-permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah l membalas anda dengan kebaikan.”
Syaikh yang mulia v menasihatkan, “Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk bergaul dengan ma’ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak yang utama, berdasarkan firman Allah l:
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Dan juga firman-Nya:
“Mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka.” (Al-Baqarah: 228)
Dan sabda Nabi n:
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau n:
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Dan ucapan beliau n:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”10
Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk berakhlak yang baik, berjumpa dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara suami istri dan dengan karib kerabat.
Sungguh anda telah melakukan perkara yang baik dengan kesabaran dan ketabahan anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak suami anda. Saya pesankan kepada anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan meninggalkan rumah suami anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman Allah l:
“Bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
“Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)
“Hanyalah orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan.” (Az-Zumar: 10)
“Bersabarlah engkau, sesungguhnya akhir/kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Tidak ada larangan bagi anda untuk mengajaknya bercanda dan berbincang dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang menyebabkannya senang kepada anda dan membuatnya menyadari hak anda terhadapnya.
Tidak usah anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi kepadanya selama ia masih menegakkan perkara-perkara penting yang wajib. Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari menghadapi tuntutan-tuntutan anda. Anda akan mendapatkan akhir/kesudahan yang baik Insya Allah.
Semoga Allah l memberi taufik kepada anda agar memberi anda tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki keadaan suami anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah l adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’awat, 1/193-195)
Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang menerima sikap kasar dari suami.
Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai doa kepada Ar-Rahman…! Sungguh kesudahan yang baik akan anda raih dengan izin Allah l.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Adapun hadits yang berisi larangan secara mutlak dari Rasulullah n untuk memukul istri setelah sebelumnya mengizinkannya, tidaklah shahih. Seperti hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:
أَنَّ الرِّجَالَ اسْتَأْذَنُوْا رَسُولَ اللهِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَأَذِنَ لَهُمْ، فَضَرَبُوْهُنَّ. فَباَتَ فَسَمِعَ صَوْتًا عَالِيًا فَقَالَ:
مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: أَذِنْتَ لِلرِّجَالِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَصَرَبُوْهُنَّ. فَنَهَاهُمْ وَقَالَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
“Ada orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah agar dibolehkan memukul istri. Beliau pun mengizinkannya hingga mereka memukul istri-istri mereka. Saat berada di waktu malam, beliau mendengar suara yang tinggi/keras. Beliau bertanya, “Suara apa itu?” tanya beliau. Mereka menjawab, “Engkau telah mengizinkan beberapa orang untuk memukul istri, lalu mereka memukulnya.” Rasulullah kemudian melarang mereka dan bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
2 Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas c. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/112, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1162, lihat Ash-Shahihah no. 284.