Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz v yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabi.
Sang wanita mengadu, “Suami saya tidak menaruh perhatian kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya, sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui bagaimana keadaan saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan, serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya. Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila bersama kawan-kawannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah l wajibkan kepada saya.
Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus tetap tinggal bersamanya dalam keadaan yang seperti ini, menahan diri (berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari menyertai serta ikut merasakan permasalahan-permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah l membalas anda dengan kebaikan.”
Syaikh yang mulia v menasihatkan, “Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk bergaul dengan ma’ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak yang utama, berdasarkan firman Allah l:
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Dan juga firman-Nya:
“Mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka.” (Al-Baqarah: 228)
Dan sabda Nabi n:
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau n:
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Dan ucapan beliau n:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”10
Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk berakhlak yang baik, berjumpa dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara suami istri dan dengan karib kerabat.
Sungguh anda telah melakukan perkara yang baik dengan kesabaran dan ketabahan anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak suami anda. Saya pesankan kepada anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan meninggalkan rumah suami anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman Allah l:
“Bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
“Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)
“Hanyalah orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan.” (Az-Zumar: 10)
“Bersabarlah engkau, sesungguhnya akhir/kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Tidak ada larangan bagi anda untuk mengajaknya bercanda dan berbincang dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang menyebabkannya senang kepada anda dan membuatnya menyadari hak anda terhadapnya.
Tidak usah anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi kepadanya selama ia masih menegakkan perkara-perkara penting yang wajib. Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari menghadapi tuntutan-tuntutan anda. Anda akan mendapatkan akhir/kesudahan yang baik Insya Allah.
Semoga Allah l memberi taufik kepada anda agar memberi anda tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki keadaan suami anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah l adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’awat, 1/193-195)
Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang menerima sikap kasar dari suami.
Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai doa kepada Ar-Rahman…! Sungguh kesudahan yang baik akan anda raih dengan izin Allah l.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Adapun hadits yang berisi larangan secara mutlak dari Rasulullah n untuk memukul istri setelah sebelumnya mengizinkannya, tidaklah shahih. Seperti hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:
أَنَّ الرِّجَالَ اسْتَأْذَنُوْا رَسُولَ اللهِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَأَذِنَ لَهُمْ، فَضَرَبُوْهُنَّ. فَباَتَ فَسَمِعَ صَوْتًا عَالِيًا فَقَالَ:
مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: أَذِنْتَ لِلرِّجَالِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَصَرَبُوْهُنَّ. فَنَهَاهُمْ وَقَالَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
“Ada orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah agar dibolehkan memukul istri. Beliau pun mengizinkannya hingga mereka memukul istri-istri mereka. Saat berada di waktu malam, beliau mendengar suara yang tinggi/keras. Beliau bertanya, “Suara apa itu?” tanya beliau. Mereka menjawab, “Engkau telah mengizinkan beberapa orang untuk memukul istri, lalu mereka memukulnya.” Rasulullah kemudian melarang mereka dan bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
2 Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas c. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/112, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1162, lihat Ash-Shahihah no. 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar