Sabtu, 30 Mei 2015

DOA Ku Untuk Mu



Ya Rabb…
aku titipkan dia kepada Mu,
dia, bagian dari tulang rusukku yang hilang…
dia, separuh jiwaku..
yang nama dan keberadaanya masih Kau rahasiakan dariku..

Ya Allah…
jika dia membutuhkan ku..
Izinkan aku melakukan sesuatu
untuknya…
jika hatinya tumpul…
berilah cahaya Mu ke dalam
nuraninya..

Tegarkan dia , Jika dia dirundung duka hiburkan dia,
Jika hatinya tergores dan butuh
teman bicara,
Temani dia Ya Allah..

Ya Rabb…
Jika dia merindukan aku,bisikkan
padanya.. bahwa aku juga merasakan hal yang sama.

Jika dia menantikan pertemuan
denganku katakan padanya,bahwa aku juga
menantikan saat itu tiba..

Ya Allah…
Jagailah dan lindungi dia untukku,,hingga pada suatu saat nanti atas izin Mu
kami bisa dipertemukan…

Aamiin Ya Rabb..

https://plus.google.com/111504922003911442587/posts/gEVZdadbRyN

Doa Malaikat untuk yang Mencari Nafkah dan Rajin Sedekah

Doa malaikat itu doa yang mustajab. Di antara doanya, makaikat akan mendoakan yang memperhatikan nafkah keluarga dan gemar sedekah agar mendapatkan ganti dan memperoleh keberkahan.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Doa Malaikat

Perlu dipahami bahwa doa malaikat adalah doa yang mustajab, benar-benar mudah diijabahi atau dikabulkan.
Doa tersebut ditujukan pada orang yang memperhatikan nafkah.
Ibnu Batthol menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan infak yang wajib seperti nafkah untuk keluarga dan nafkah untuk menjalin hubungan kekerabatan (silaturahim).
Doa malaikat itu mudah terkabul –kata Ibnu Batthol- dalilnya adalah berikut ini,
فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang bacaan aminnya itu seiringan dengan amin malaikat, maka dosanya yang lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 6402)

Mengeluarkan Nafkah dan Rajin Sedekah Akan Diganti

Adapun dikatakan dalam hadits bahwa orang yang rajin bersedekah atau berinfak dan yang dimaksudkan adalah seperti kata Ibnu Batthol di atas, maka Allah akan memberi ganti padanya.
Berarti siapa yang beri nafkah pada keluarga, pada kerabat, dan rajin pula mengeluarkan sedekah sunnah, maka malaikat akan mendoakan supaya orang tersebut mendapatkan ganti. Hal ini serupa seperti yang disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba’: 39). Maksud ayat, siapa saja yang mengeluarkan nafkah dalam ketaatan pada Allah, maka akan diberi ganti.
Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Allah Tabaraka wa Ta’ala: Wahai anak Adam, berinfaklah, Allah akan mengganti infakmu.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)

Enggan Menunaikan Nafkah dan Enggan Sedekah

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits doa malaikat di atas dalam Syarh Shahih Muslim,
قَالَ الْعُلَمَاء : هَذَا فِي الْإِنْفَاق فِي الطَّاعَات وَمَكَارِم الْأَخْلَاق وَعَلَى الْعِيَال وَالضِّيفَان وَالصَّدَقَات وَنَحْو ذَلِكَ ، بِحَيْثُ لَا يُذَمُّ وَلَا يُسَمَّى سَرَفًا ، وَالْإِمْسَاك الْمَذْمُوم هُوَ الْإِمْسَاك عَنْ هَذَا .
“Para ulama menyatakan bahwa infak yang dimaksud adalah infak dalam ketaatan, infak untuk menunjukkan akhlak yang mulia, infak pada keluarga, infak pada orang-orang yang lemah, serta lainnya. Selama infak tersebut tidaklah berlebihan, alias boros.
Adapun enggan berinfak yaitu enggan mengeluarkan untuk nafkah dan semisal itu.”
Hadits yang kita kaji menunjukkan keutamaan orang yang memperhatikan nafkah pada keluarga dengan baik, juga pujian bagi orang yang rajin sedekah. Sedangkan yang enggan memberikan nafkah kepada keluarga mendapatkan doa jelek dari malaikat, yaitu didoakan kebangkrutan atau kehancuran.
Semoga kita bisa memperhatikan kewajiban dalam hal menunaikan nafkah dan terus gemar sedekah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Selesai disusun di pagi hari penuh berkah di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Jumadats Tsaniyyah 1436 H

Munafik Karena Tidak Shalat Jamaah di Masjid

Ada yang disebut munafik karena tidak shalat jamaah di masjid. Kenapa bisa?


Simak bahasan berikut. Nasehat ini untuk para pria karena yang wajib shalat jama’ah adalah para pria.
Sifat shalat orang munafik disebutkan dalam ayat berikut ini,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’: 142).
Ada tiga sifat dari orang munafik yang bisa kita simpulkan dari ayat di atas:
  1. Shalatnya malas dan terus merasa berat.
  2. Riya’ dalam shalatnya.
  3. Hanya sedikit mengingat Allah.

Orang Munafik Shalat dalam Keadaan Malas dan Riya’

Sifat malas orang munafik itulah sifat yang nampak sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,
وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى
Dan mereka tidaklah mengerjakan shalat melainkan dalam keadaan malas” (QS. At Taubah: 54).
Yang dimaksud mereka riya’ dengan shalatnya adalah mereka tidak ikhlas dalam bermunajat pada Allah. Mereka pura-pura baik saja di hadapan manusia. Oleh karenanya orang munafik secara umum tidak terlihat pada shalat Isya dan shalat Shubuh, di mana keadaan kedua shalat tersebut masih gelap. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّىَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِى بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak. Sungguh aku bertekad untuk menyuruh orang melaksanakan shalat. Lalu shalat ditegakkan dan aku suruh ada yang mengimami orang-orang kala itu. Aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa seikat kayu untuk membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jama’ah.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah).
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan,
لَوْلا مَا فِى الْبُيُوتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالذُّرِّيَّةِ أَقَمْتُ صَلاَةَ الْعِشَاءِ وَأَمَرْتُ فِتْيَانِى يُحَرِّقُونَ مَا فِى الْبُيُوتِ بِالنَّارِ
Seandainya bukan karena ada wanita dan anak-anak, aku tentu akan menyuruh shalat Isya ditegakkan dan aku sendiri bersama dengan pemuda akan membakar rumah yang tidak datang ke masjid dengan api.” (HR. Ahmad 2: 367, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih sedangkan sanad hadits ini dho’if karena adanya Abu Ma’syar)
Disebutkan dalam hadits yang dha’if, namun maknanya benar,
مَنْ أحْسَنَ الصَّلاَةَ حَيْثُ يَرَاهُ النَّاسُ، وَأَسَاءَهَا حَيْثُ يَخْلُوْ، فَتِلْكَ اِسْتِهَانَةٌ، اِسْتَهَانَ بِهَا رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Siapa yang memperbagus shalat ketika dilihat oleh orang, namun shalatnya rusak ketika tidak ada orang yang memperhatikan, maka itu termasuk menghinakan, yaitu ia termasuk merendahkan Allah dengan shalatnya.” (Dikeluarkan oleh Abu Ya’la dengan sanad dan matannya. Namun sanadnya dha’if karena adanya Ibrahim bin Muslim Al Hijriy. Lihat ta’liq Abu Ishaq Al Huwaini dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 243)

Orang Munafik Sedikit Mengingat Allah

Adapun orang munafik hanya sedikit mengingat Allah. Yang dimaksud adalah dalam shalat mereka, mereka tidaklah khusyu’, mereka tidak tahu apa yang mereka ucapkan dalam shalatnya. Bahkan dalam shalat, mereka benar-benar lalai. Mereka juga biasa berpaling dari kebaikan. Ini yang disebut oleh Ibnu Katsir mengenai maksud ayat di atas, disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 243.
Syaikh As Sa’di menyatakan kenapa orang munafik sampai bisa sedikit berdzikir pada Allah,
لاِمْتِلاَء ِقُلُوْبِهِمْ مِنَ الرِّيَاءِ، فَإِنَّ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَمُلاَزَمَتَهُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ مِنْ مُؤْمِنٍ مُمْتَلِئِ قَلْبَهُ بِمَحَبَّةِ اللهِ وَعَظَمَتِهِ
“Karena hati mereka sudah dipenuhi dengan riya’ (beramal hanya ingin cari pujian). Ingatlah bahwa dzikir pada Allah dan bisa terus konsisten dalam dzikir hanyalah ada pada orang beriman yang hatinya penuh dengan kecintaan dan pengagungan pada Allah.” (Tafsir As Sa’di, hal. 210).
Keadaan shalat orang munafik yang hanya mau sedikit saja mengingat Allah digambarkan dalam hadits berikut.
Dari Al ‘Alaa’ bin ‘Abdurrahman, bahwasanya ia pernah menemui Anas bin Malik di rumahnya di Bashroh ketika beliau selesai dari shalat Zhuhur. Rumah beliau berada di samping masjid.
Ketika Al Alaa’ bertemu dengan Anas, Anas bertanya, “Apakah kalian sudah shalat ‘Ashar?”
“Kami baru saja selesai dari shalat Zhuhur”, jawab Al ‘Alaa.
Anas memerintahkan mereka untuk shalat ‘Ashar. Setelah mereka shalat, Anas berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
Ini adalah shalat orang munafik. Ia duduk hingga matahari berada antara dua tanduk setan. Lalu ia mengerjakan shalat ‘Ashar empat raka’at. Ia hanyalah mengingat Allah dalam waktu yang sedikit.” (HR. Muslim no. 622).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

Munafik Karena Tak Pernah Shalat Jama’ah di Masjid

Sifat shalat orang munafik lainnya disebutkan dalam perkataan para ulama berikut.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jama’ah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Seseorang yang meninggalkan shalat jama’ah menunjukkan akan beratnya dia menjalankan shalat. Ini pertanda bahwa hatinya terdapat sifat kemunafikan. Untuk lepas dari sifat tersebut, marilah menjaga shalat jama’ah.” (Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Maram, 3: 365)
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan,
كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الإِنْسَانَ فِي صَلاَةِ العِشَاءِ الآخِرَةِ وَالصُّبْحِ أَسَأْنَا بِهِ الظَّنَّ
“Jika kami tidak melihat seseorang dalam shalat ‘Isya’ dan shalat Shubuh, maka kami mudah untuk suuzhon(berprasangka jelek) padanya” (HR. Ibnu Khuzaimah 2: 370 dan Al Hakim 1: 211, dengan sanad yang shahihsebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab. Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 365)
Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan,
كَفَى عَلَماً عَلَى النِّفَاقِ أَنْ يَكُوْنَ الرَّجُلُ جَارَ المسْجِد ، لاَ يُرَى فِيْهِ
“Cukup disebut seseorang memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat di masjid” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Ma’alimus Sunan 1: 160. Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 365).
Itulah yang kita saksikan saat ini, banyak pria yang lalai dari shalat Jama’ah, lebih-lebih lagi shalat Shubuh. Ini semua disebabkan karena lemahnya iman, ada penyakit dalam hatinya, kurang semangat dalam melakukan ketaatan, berpaling dari Allah, dan lebih mendahulukan hawa nafsu daripada perintah Allah. Wallahul musta’an.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Tafsir As Sa’di (Taisir Al Karimir Rahman), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1433 H.
Selesai disusun menjelang Jumatan, 20 Jumadats Tsaniyyah 1436 H di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Naskah Khutbah Jumat pada Jumat Wage di Masjid Jami Al Adha (Masjid Pesantren Darush Sholihin), 20 Jumadats Tsaniyyah 1436 H

Bumi Jadi Saksi Atas Amalan Kita



Bumi akan jadi saksi atas amalan kita. Bumi akan berbicara dan mengabarkan mengenai amalan setiap manusia di muka bumi, semua itu atas izin Allah.

Hadits Tentang Bumi Bersaksi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al Zalzalah : 4)
Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا
Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits inidha’if. Namun hadits ini punya penguat dalam Al Kabir karya Ath Thobroni 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy dalam Bahjatun Nazhirin, 1: 439).

Adapun faedah dari hadits yang bisa kita simpulkan:

  • Al Qur’an sangat bagus jika ditafsirkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Hendaklah manusia memperbanyak melakukan amalan ketaatan dan benar-benar menjauhi perbuatan maksiat karena bumi akan menjadi saksi untuk berbicara pada hari kiamat, mengungkap segala yang diperbuat oleh manusia.
  • Allah mampu membuat makluk berbicara, bahkan tanah atau bumi yang kita pijak bisa berbicara. Bumi akan bersaksi terhadap amalan kebaikan dan keburukan yang kita perbuat.
  • Yang menjadi saksi bagi manusia pada hari kiamat adalah kitab catatan amalnya, pendengarannya, penglihatannya, kulit dan tangannya serta bumi yang dipijak. Sehingga setiap manusia tak mungkin mengelak dengan kesaksian yang ada.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa anggota tubuh juga menjadi saksi adalah firman Allah,
حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (20) وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (21)
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Fushilat: 20-21)
Begitu pula bumi berbicara atas perintah dari Allah,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا
Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Al Zalzalah: 4-5). Baca Tafsir Surat Al Zalzalah.

Keterangan Ulama: Bumi Menjadi Saksi

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فَإِنَّهَا أُمُوْرٌ مَشْهُوْدَةٌ يَعْرِفُهَا النَّاسُ لَكِنْ العَجَبُ كَوْنُ الأَرْضِ تُخْبِرُ بِذَلِكَ فَالعَجَبُ فِي المخْبِرُ لاَ فِي الَخبَرِ كَشَهَادَةِ الأَعْضَاءِ
“Itulah perkara yang disaksikan. Manusia saat itu mengetahui hal itu. Namun yang mengherankan bukanlah berita yang dibicarakan oleh bumi. Yang mengherankan adalah yang mengabarkan berita tersebut yaitu bumi (yang hanya benda mati), bukan pada beritanya yang menimbulkan decak kagum. Sebagaimana juga nantinya anggota tubuh manusia akan menjadi saksi bagi dirinya pada hari kiamat.” (An Nubuwaat karya Ibnu Taimiyah, hal. 222).

Anjuran Perbanyak Dzikir dan Shalat Sunnah

Ayat di atas menunjukkan untuk memperbanyak dzikir kapan pun dan di mana pun. Faedahnya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, di mana ia berkata,
إِنَّ فِي دَوَامِ الذِّكْرِ فِي الطَّرِيْقِ وَالبَيْتِ وَالحَضَرِ وَالسَّفَرِ وَالبَقَاعِ تَكْثِيْرًا لِشُهُوْدِ العَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَإِنَّ البُقْعَةِ وَالدَّارِ وَالجَبَلِ واَلأَرْضِ تَشْهَدُ لِلذَّاكِرِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Sungguh orang yang senantiasa berdzikir ketika berada di jalan, di rumah, di saat mukim, di saat safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, rumah, gunung dan tanah, akan menjadi saksi bagi seseorang di hari kiamat.” (Al Wabilush Shoyyib, hal. 197). Baca: 51 Keutamaan Dzikir
Begitu pula berpindah tempat saat shalat sunnah, termasuk pula keutamaan mengerjakan shalat sunnah di rumah adalah supaya mendapat banyak saksi pada hari kiamat. Sebagaimana keutamaan ini disebutkan oleh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho dalam Al Fiqhu Al Manhaji (hal. 159) ketika menjelaskan amalan sunnah sesudah shalat.
Dalil yang menunjukkan anjuran melaksanakan shalat sunnah di rumah. Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731).
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِى مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلاَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِى بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا
Jika salah seorang di antara kalian menunaikan shalat di masjid, jadikanlah shalatnya (shalat sunnah) pula sebagiannya di rumah. Karena Allah akan menjadikan shalat tersebut kebaikan bagi rumah tersebut.” (HR. Muslim no. 778)
Disunnahkan berpindah tempat tersebut untuk memisahkan shalat sunnah dan shalat wajib adalah berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat.” (HR. Muslim no. 883).
Semoga Allah memudahkan kita kemudahan untuk menghadapi hari akhir, dan moga kita mudahkan pula dalam mempersiapakan amalan.

Referensi:

Al Fiqh Al Manhajiy ‘ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syarbajiy, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.
Al Wabil Ash Shoyyib wa Rofi’ Al Kalim Ath Thoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Bahjah An Nazhirin Syarh Riyadh Ash Sholihin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Tafsir Syaik Al Islam Ibnu Taimiyah, Iyad bin ‘Abdul Lathif bin Ibrahim Al Qoisi, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Naskah Khutbah Jumat Masjid Adz Dzikro Ngampel Girisekar Panggang, Gunungkidul, pada Jumat Pon, 5 Rajab 1436 H
Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 4 Rajab 1436 H, Kamis 2:30 PM
Artikel Rumaysho.Com