Kamis, 18 Juni 2015

  • Rahasia dan Hikmah Puasa
  • ramadan_kareem
  • Puasa memiliki banyak rahasia dan hikmah yang luar biasa, yang jika kita renungkan dan pikirkan, maka pasti kita akan takjub karenanya.
  • Hikmah pertama, Puasa Berkaitan erat ketulusan Iman kepada Allah Ta’ala
  • Lantaran itu, sebagian ulama menyebut puasa sebagai ibadah rahasia. Karena seseorang bisa saja tidak berpuasa jika ia mau. Entah dengan mengkonsumsi makanan atau minuman, atau tidak berniat puasa sama sekali, meskipun ia menahan diri dari makan dan minum sepanjang hari.
  • Dengan kata lain, puasa adalah ibadah hati. Dia adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Sebab, ketika seorang hamba tidak melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasa, padahal dia sanggup melakukan hal itu walau secara sembunyi-sembunyi, maka itu adalah bukti bahwa dia yakin terhadap adanya pengawasan Allah terhadap perbuatannya. Dan hal ini merupakan tarbiyah untuk melatih kekuatan iman kepada Allah.
  • Sebenarnya, bila dicermati lebih jauh, rahasia keimanan ini dapat kita temukan pada pada seluruh ritual ibadah yang dilakukan seorang hamba kepada Sang Khaliq.
  • Perhatikan, misalnya, wudhu dan mandi janabah, saat seseorang bersuci dari hadats dengan wudhu’ dan mandi tersebut. Dalam wudhu dan mandi terdapat bukti keimanan seorang hamba bahwa Allah Maha Mengawasi dirinya. Itulah kenapa dia menunaikan amanah bersuci yang menjadi rahasia antara dirinya dengaan Rabbnya. Sekiranya dia shalat tanpa bersuci, maka takkan ada manusia yang tahu hal itu.
  • Perhatikan pula ibadah shalat. Seorang yang shalat membaca surah Al Fatihah dalam shalatnya. Dalam ruku’, dia membaca Subhaana Rabbiyal ‘adziym. Dalam sujud, dia membaca Subhaana Rabbiyal a’la. Dalam duduk di antara dua sujud, dia membaca Rabbighfirliy. Dalam tasyahhud, dia membaca tahiyyat, dan begitu seterusnya.
  • Dia membaca semua itu dengan suara yang tidak didengarkan oleh orang di samping dan di dekatnya. Bahkan oleh orang yang mungkin merapat dan bersentuhan kulit dengannya sekalipun. Andai saja dia tidak beriman kepada Allah, kepada Kemahatahuan Allah terhadap ucapan lisannya, lintasan pikirannya dan kata hatinya, mungkinkah dia akan berdoa dan berdzikir seperti itu? Padahal, tidak ada yang mengawasinya kecuali nya subhanahu wa ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
  • وَإِن تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى [٢٠:٧]
  • Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS Thaha:7)
  • Hikmah Kedua: Puasa Mendidik manusia untuk selalu Mengingat Kampung Akhirat
  • Sebab saat berpuasa, seorang hamba meninggalkan beberapa kebiasaan duniawi dengan harapan mendapatkan ganjaran pahala di sisi Allah. Parameternya dalam menghitung untung – rugi perbuatannya adalah standar akhirat. Dalam puasa –misalnya dia meninggalkan makan, minum dan berbagai kenikmatan pada siang hari bulan Ramadhan, demi balasan yang baik pada hari kehidupan akhirat kelak.
  • Dalam hal ini terdapat penanaman nilai-nilaI keimanan kepada kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tambatan hati bagi orang yang berpuasa. Dia juga berlatih untuk menghilangkan ketergantungan kepada kenikmatan duniawi yang fana. Sebab ketergantungan kepada kenikmatan duniawi itulah yang melahirkan kecenderungan yang berlebihan kepada kehidupan dunia.
  • Padahal, penting diingat bahwa dalam ibadah puasa, terkandung pula kenikmatan rohani dan kebaikan hidup, seperti kesehatan fisik, ketenangan hati, dan kelapangan dada.
  • Adapun orang yang hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang materi, maka puasa hanya akan dilihat dari sisi kehidupan dunia yang singkat ini. Mereka tidak melihat puasa melainkan sebatas meninggalkan kenikmatan makan, minum dan hubungan suami – istri. Pandangan mereka terbatas pada upaya pemenuhan terhadap kebutuhan fisik semata. Mereka tidak melihat sisi akhirat yang pada hakekatnya merupakan balasan yang sebenarnya. Hal inilah yang menggerus atau mungkin memperlemah rasa rindu kepada kehidupan akhirat.
  • Hikmah Ketiga: Dalam ibadah Puasa terdapat pembuktian akan totalitas penyerahan Diri dan Penyembahan Kepada Allah Jalla wa ‘alaa
  • Puasa melatih seorang muslim untuk melaksanakan makna ubudiyah yang sebenarnya. Ketika malam tiba, dia makan. Hal itu sebagai bentuk pengamalan terhadap perintah Allah:
  • وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ 
  • Makan dan minumlah hingga tampak bagi kalian benang putih dari benang hitam,yaitu fajar(QS Al Baqarah: 187).
  • Oleh sebab itu, sangat dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, baik pada saat berbuka maupun pada saat sahur. Dan tidak dianjurkan menyambung puasa dengan puasa hari berikutnya tanpa berbuka. Dalam konteks ini, makan pun termasuk ibadah.
  • Saat terbit fajar, seorang muslim menahan diri dari makan dan minum serta pembatal-pembatal puasa lainnya. Hal itu dalam rangka mengikuti perintah Allah:
  • ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
  • Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”(QS Al baqarah:187).
  • Nah, demikianlah seorang Muslim terdidik untuk melaksanakan makna ubudiyah yang sempurna kepada Allah. Jika Rabbnya menyuruhnya untuk makan pada waktu tertentu, maka ia makan. Jika Dia menyuruhnya melakukan kebalikannya pada saat yang lain, maka ia taat. Sehingga inti persoalannya bukan pada sekadar perasaan, keinginan, dan kecenderungan. Tetapi totalitas ketaatan kepada Allah dalam menjalankan perintah-perintah-Nya.
  • Dan sesungguhnya ‘ubudiyah kepada Allah merupakan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan yang sempurna hanya terdapat dalam ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah ‘azza wajalla. Lantaran itulah, al-Qadhi ‘Iyadh, seorang ulama besar yang zuhud, pernah mengungkap syair:
  • Sesuatu yang memberiku kemuliaan dan ketinggian derajat
  • Yang membawaku menapak bulan
  • Yaitu ketika aku masuk dalam golongan yang Engkau sebut sebagai “hamba-Ku.”
  • Dan ketika Engkau jadikan Muhammad sebagai nabi bagiku
  • Sebaliknya, adalah ungkapan syair hikmah yang lain:
  • Aku perturutkan hawa nafsuku, maka aku dijadikannya budak
  • Andai aku mampu menundukkannya, niscaya aku adalah manusia yang merdeka
  • Hikmah ini dapat ditemukan pula dalam ibadah shalat, haji, dan ibadah yang selainnya. Karena itulah seorang hamba di dalam shalatnya berdiri, kemudian ruku, kemudian sujud, kemudian duduk, dan seterusnya. Sebab semua itu adalah perintah dan keinginan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Dengan cara itulah manusia yang melakukan shalat merealisasikan ubudiyahnya kepada Allah.
  • Ambil contoh lain ibadah haji. Dalam ibadah haji, memang tidak dilarang untuk makan dan minum. Tetapi ada larangan-larangan lain yang harus dihindari oleh orang yang sedang ihram, seperti hubungan suami-istri dan perbuatan yang mengantar kepadanya, menutup kepala, memakai wewangian, memotong kuku dan rambut, dan lain-lain. Maka wajib bagi orang yang sedang ihram untuk mengindahkannya. Karena yang demikian itulah perbuatan yang dikehendaki oleh Allah dari orang yang ihram. Bila seorang yang sedang dalam keadaan ihram meninggalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah, seperti makan dan minum, dengan keyakinan bahwa hal itu sebagai bagian dari ihram, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebagaimana jika dia melanggar larangan ihram, maka dia telah berbuat salah.
  • Jika telah selesai ihram, dia diharuskan untuk mencukur atau memendekkan rambut, mandi dan berhias, serta memakai parfum dan memotong kuku. Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoranyang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka . . . .” (QS. Al-Hajj: 29)
  • Begitulah seorang muslim terdidik di atas nilai penyerahan diri dan ketundukan dalam penghambaan kepada Allah. Taat pada perintah dan tunduk pada larangan. Terlepas dari apakah dia mengetahui hikmah di balik perintah atau larangan itu atau tidak.
  • Hikmah Keempat: ibadah Puasa Adalah madrasah bagi masyarakat
  • Ketika seorang yang berpuasa menyaksikan manusia di sekitarnya berpuasa, maka ia akan merasakan puasa sebagai sesuatu yang ringan dilaksanakan. Ia juga akan merasa sebagai bagian tak terpisah dari masyarakatnya, yang semuanya diikat oleh hubungan kesatuan ibadah yang merupakan poros bagi semua anggota masyarakat.
  • Bila kita bandingkan antara puasa sunnah dengan puasa ramadhan, kita temukan bahwa ternyata puasa sunnah terasa lebih berat dilaksanakan. Berbeda halnya dengan puasa ramadhan yang hukumnya wajib. Dia terasa lebih ringan dan mudah. Tidak ada beban dalam melaksanakannya. Alasannya adalah seperti telah disebutkan sebelumnya. Dalam puasa ramadhan, hampir semua orang di sekitar kita juga berpuasa. Di pasar, para penjual dan pembeli berpuasa. Di dalam rumah, anggota keluarga berpuasa. Di sekolah dan tempat kerja, orang-orang juga sedang puasa. Dan demikianlah seterusnya. Manusia muslim akan merasakan kebersamaan dalam berpuasa, sehingga ia terbantu menjalani puasa. Dengan itu dia bisa menikmati pekerjaan yang sebanarnya berat baginya.
  • Oleh sebab itu, kita dapati orang-orang yang memasuki bulan ramadhan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas non-muslim untuk kepentingan yang mendesak tertentu, entah karena sakit atau karena sebab yang lain, menghadapi kesulitan yang sangat jelas saat berpuasa. Pasalnya, masyarakat di sekitarnya tidak berpuasa. Mereka makan dan minum. Dan dia sendiri tidak bisa tidak, harus berinteraksi dengan mereka.
  • Jika demikian, maka perasaan orang yang puasa bahwa orang-orang di sekitarnya turut serta bersamanya dalam beribadah akan menjadikan puasa terasa ringan baginya. Hal ini adalah sesuatu yang tampak jelas, bahkan pada masyarakat yang mungkin syiar Islam di dalamnya hanya tersisa sedikit. Pengaruh ramadhan bisa dilihat pada semua manusia.
  • Pada diri orang-orang yang gemar melakukan maksiat dan di masyarakat yang didominasi oleh kerusakan pun, pengaruh ramadhan dapat dirasakan. Itu semua merupakan bagian dari pembinaan Islam kepada masyarakat secara keseluruhan.
  • Lantaran itu, perhatian Islam terhadap perbaikan masyarakat sangat besar. Kerusakan yang dilakukan oknum-oknum tertentu dalam masyarakat tentu sesuatu yang tak mungkin dihilangkan sama sekali. Sejumlah kasus pelanggaran juga pernah terjadi pada masyarakat zaman Sahabat yang mulia. Di anatara mereka ada yang terjerumus melakukan pencurian, meminum khamr, dan berzina. Semua ini pasti terjadi. Tetapi yang tidak dapat dibenarkan adalah, kemungkaran dilakukan secara luas dan terang-terangandalam masyarakat Muslim,. Sehingga masyarakat umum terkontaminasi akhlaknya dan terpengaruh. Akibatnya, sulit bagi orang yang ingin berjalan di atas kebaikan untuk mendapatkan hidayah. Karena masyarakat menekan dan menghalanginya dari mencapai tujuannya.
  • Dari titik tolak ini pula musuh-musuh Islam berusaha keras untuk merusak masyarakat islam. Lewat media, mereka menggerogoti tata nilai dalam masyarakat, sehingga terjadi kerusakan pada pemikiran, aqidah, akhlaq dan tradisi masyarakat.
  • Kesimpulannya, pembinaan masyarakat merupakan cita-cita Islam. Puasa adalah salah satu sarana pembinaan itu. Manfaat puasa dalam pembinaan masyarakat sangat jelas. Di antara fenomenanya, selain yang telah disebutkan di atas, adalah bahwa sampai anak kecil sekalipun, dalam masyarakat muslim terbiasa melakukan puasa. Orang-orang yang gemar melakukan maksiat menyembunyikan kebiasaan maksiatnya. Sedangkan orang-orang non-muslim tidak makan dan minum secara terbuka di depan umum. (sym)
  • Sumber: Diterjemahkan oleh Syamsuddin Al-Munawiy dari Risalah Durus Ramadhan; Waqafat Lish Shaim, Karya Syekh. DR. Salman bin Fahd.

Tidak ada komentar: